Kamis, 12 Januari 2012

Urgensi Alat Bukti Pengamatan Hakim dalam RUU KUHAP


Urgensi Alat Bukti Pengamatan Hakim dalam RUU KUHAP


Para ahli hukum memiliki banyak pandangan tentang hukum, bahkan sebagian ahli hukum mengatakan, bahwa hukum itu tidak dapat didefinisikan karena luas sekali ruang cakupannya dan meliputi semua bidang kehidupan masyarakat yang selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Mochtar Kusumaatmadja memberikan definisi hukum secara luas tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institution) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan (Mochtar Kusumaatmadja, 1970: 11).

Hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai (value) yang berlaku di suatu masyarakat, bahwa dapat dikaitkan pula hukum itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Abdul Manan, 2005: 22). Hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat, pendapat ini memiliki maksud, bahwa jika nilai-nilai dalam masyarakat berubah, maka selayaknya hukumpun mengikuti perubahan tersebut. Akan tetapi, permasalahan yang muncul adalah, apakah hukum yang senantiasa mengikuti perubahan tersebut dengan konsekuensi hukum akan selalu tertinggal di belakang, ataukah hukum yang memprakarsai perubahan tersebut. Berbicara tentang perubahan hukum ini, kita mengingat kembali pemeo yang sangat terkenal yaitu Ubi societas Ibi ius yang bermakna dimana ada masyarakat di situ ada hukum, maka perlu digambarkan hubungan antara perubahan sosial dan penemuan hukum. Masyarakat ada dan menciptakan hukum, masyarakat berubah, maka hukumpun berubah. Perubahan hukum melalui dua bentuk, yakni masyarakat berubah terlebih dahulu, baru hukum datang mengesahkan perubahan itu (perubahan pasif) dan bentuk lain yaitu hukum sebagai alat untuk mengubah ke arah yang lebih baik (law as a tool of sosial engineering). Terlepas dari pandangan hukum berubah mengikuti perubahan masyarakat atau hukum sebagai alat mengubah masyarakat, para ahli hukum sepakat, bahwa hukum harus bersifat dinamis, tidak boleh statis dan harus dapat dijadikan penjaga ketertiban, ketentraman dan pedoman tingkah laku dalam kehidupan masyarakat. Hukum harus dijadikan pembaru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang harus dibentuk dengan berorientasi pada masa depan, hukum tidak boleh berorientasi kepada masa lampau. Menurut Achmad Ali (Achmad Ali, 1996: 215), tidak perlu diperdebatkan bagaimana hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat dan bagaimana hukum menjadi penggerak ke arah perubahan masyarakat. Kenyataannya, dimanapun dalam kegiatan perubahan hukum, hukum telah berperan dalam perubahan tersebut dan hukum telah berperan dalam mengarahkan masyarakat kepada kehidupan yang lebih baik. Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Perubahan hukum yang terjadi merupakan konsekuensi logis dari hukum yang bersifat dinamis. Perubahan tersebut, baik melalui konsep masyarakat berubah terlebih dahulu maupun konsep law as tool sosial engineering mempunyai tujuan untuk membentuk dan memfungsikan sistem hukum nasional yang bersumber pada dasar negara Pancasila dan konstitusi negara. Perubahan hukum hendaknya dilaksanakan secara komprehensif yang meliputi lembagalembaga hukum, peraturan-peraturan hukum dan juga memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Peraturan-peraturan yang ada saat ini kadangkala memiliki keterbatasan dalam pengaturan, baik dalam substansi maupun dalam ruang lingkup berlakunya peraturan tersebut. Jika penyusunan peraturan baru merupakan salah satu solusi untuk menutupi keterbatasan peraturan yang ada, maka solusi yang lain untuk menutupi keterbatasan peraturan tersebut yaitu dengan penemuan hukum. Apabila suatu perkara dibawa ke pengadilan dan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak ada ketentuan yang dapat diterapkan sekalipun ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan sosiologis sedangkan di lain pihak hukum kebiasaan atau hukum adatpun tidak ada peraturan yang dapat membawa hakim pada penyelesaian perkara itu, berarti persoalan ini bersangkutan dengan kekosongan hukum dalam sistem formil dari hukum. Untuk memenuhi ruang kosong ini, hakim harus berusaha mengembalikan identitas antara sistem formil hukum dengan sistem materiil dari hukum. Berdasarkan beberapa ketentuan yang mengandung persamaan, hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) dan menurut pendapatnya, pengertian hukum itu adalah asas hukum yang menjadi dasar lembaga yang bersangkutan. Cara kerja atau proses berpikir hakim demikian dalam menentukan hukum disebut konstruksi hukum yang terdiri dari konstruksi analogi, konstruksi penghalusan hukum dan konstruksi argumentum a contrario (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2008: 13). Di dalam lapangan hukum pidana, perubahan masyarakat dan teknologi membawa pengaruh yang sangat besar dalam perubahan hukum, baik hukum pidana materiil yang diimplementasikan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHPidana) maupun dalam hukum pidana formilnya yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ketika tulisan ini dibuat sedang disusun dan dibahas draft perubahan baik KUHPidana maupun KUHAP. Salah satu perubahan yang dirasa cukup mendasar dalam RUU KUHAP tahun 2008 (selanjutnya disebut RUU KUHAP) yaitu dalam hal alat bukti yang dipakai dalam persidangan. Saat ini, pasal 184 KUHAP mengenal 5 macam alat bukti yang dapat dipergunakan di persidangan, yaitu alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa. Akan tetapi dalam RUU KUHAP alat bukti yang sah di persidangan berubah menjadi alat bukti barang bukti, surat-surat, alat bukti elektronik, keteranangan saksi, keterangan ahli, keterangan terdakwa dan pengamatan hakim. Permasalahan alat bukti kerap membawa kesulitan baik lembaga Kepolisian selaku penyidik, lembaga Kejaksaan selaku penuntut maupun lembaga Peradilan dalam memeriksa dan memutus perkara. Alat bukti yang ada sekarang dirasa sangat terbatas mengingat perubahan yang cukup pesat dalam masyarakat. Selain itu, dalam lapangan hukum pidana penafsiran, baik tentang duduk perkara maupun tentang alat bukti hanya terbatas pada penafsiran ekstensif, yaitu memberikan tafsiran dengan memperluas arti kata-kata dalam peraturan itu. Adanya perubahan ini diharapkan memberikan keleluasaan bagi hakim untuk menemukan hukum (rechtsvinding) terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya, sesuai dengan amanat dalam pasal 16 Undang-undang nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang berbunyi, ”Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Permasalahan utama yang akan dibahas pada tulisan ini adalah sejauh mana arti penting alat bukti pengamatan hakim dibandingkan alat bukti lainnya menurut perspektif RUU KUHAP. Pasal 177 RUU KUHAP memformulasikan alat bukti yang sah ke dalam beberapa jenis antara lain barang bukti; surat-surat; bukti elektronik; keterangan seorang ahli; keterangan seorang saksi; keterangan terdakwa dan pengamatan hakim. Hal baru yang sebelumnya tidak ada dalam macam-macam alat bukti yang sah menurut pasal 184 KUHAP adalah barang bukti, bukti elektronik dan pengamatan hakim. Sedangkan alat bukti yang dihilangkan dari pasal 184 KUHAP adalah alat bukti petunjuk. Pada sub bab terdahulu telah dibahas macam-macam alat bukti menurut pasal 184 KUHAP serta perbedaan mendasar antara alat bukti petunjuk dan alat bukti pengamatan hakim. Pada bagian ini akan coba dibahas macam-macam alat bukti menurut pasal 177 RUU KUHAP. Alat-alat bukti yang sah menurut pasal 177 RUU KUHAP adalah sebagai berikut: a. Barang Bukti Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf a RUU KUHAP yang dimaksud dengan barang bukti adalah barang atau alat yang secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindak pidana (real evidence atau physical evidence) atau hasil tindak pidana. b. Surat-surat Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf b RUU KUHAP yang dimaksud dengan surat adalah segala tanda baca dalam bentuk apapun yang bermaksud menyatakan isi pikiran. Selanjutnya dalam pasal 178 RUU KUHAP dijelaskan secara lebih rinci, bahwa Surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177 ayat (1) huruf b, dibuat berdasarkan sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, yakni : - Berita Acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri disertai dengan alasan yang tegas dan jelas tentang keterangannya; - surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam ketatalaksanaan yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian suatu hal atau suatu keadaan; - surat keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi darinya; - surat lain yang hanya dapat berlaku, jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. c. Bukti Elektronik Menurut penjelasan pasal 177 ayat (1) huruf c RUU KUHAP Yang dimaksud dengan “bukti elektronik” adalah informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. d. Keterangan Ahli Menurut pasal 179 RUU KUHAP Keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf d adalah segala hal yang dinyatakan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus, di sidang pengadilan. e. Keterangan Saksi Menurut pasal 180 ayat (1) RUU KUHAP, yang dimaksud dengan keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf e RUU KUHAP sebagai alat bukti adalah segala hal yang dinyatakan oleh saksi di sidang pengadilan. Sedangkan definisi saksi sendiri menurut pasal 1 angka 25 RUU KUHAP adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang dilihat sendiri, dialami sendiri atau didengar sendiri. f. Keterangan Terdakwa Menurut pasal 181 ayat (1) RUU KUHAP keterangan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) huruf f adalah segala hal yang dinyatakan oleh terdakwa di dalam sidang pengadilan tentang perbuatan yang dilakukan atau diketahui sendiri atau dialami sendiri. g. Pengamatan Hakim Pengamatan hakim sebagaimana dimaksud dalam pasal 177 ayat (1) RUU KUHAP adalah pengamatan yang dilakukan oleh hakim selama sidang yang didasarkan pada perbuatan, kejadian, keadaan atau barang bukti yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat-alat bukti sebagaimana tercantum dalam pasal 177 RUU KUHAP tersebut tidak semuanya baru, sebagaimana dimensi pembaharuan yang disampaikan oleh Ismail Saleh, tidak perlu membongkar keseluruhan peraturan perundang-undangan, akan tetapi yang tidak sesuai dengan perkembangan itulah yang akan diganti. Diantaranya yang ditambah dan diganti yaitu alat bukti barang bukti, alat bukti elektronik dan alat bukti pengamatan hakim. Sedangkan alat bukti yang dihilangkan atau lebih tepatnya diganti yaitu alat bukti petunjuk. Diantara beberapa alat bukti tersebut, alat bukti pengamatan hakim dianggap memiliki potensi yang cukup besar untuk membawa perubahan hukum melalui penafsiran dan penemuan hukum.penemuan hukum lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Dahulu hakim dianggap sebagai bouche de la loi atau hakim sebagai corong undang-undang. Hakim hanyalah pelaksana undang-undang. Namun dalam perkembangannya hakim memiliki keleluasaan untuk menafsirkan undangundang. Dalam lapangan hukum pidana, hakim diperbolehkan melakukan penafsiran ekstensif atau perluasan makna, dan dilarang melakukan penafsiran analogi. Alat bukti barang bukti, dan alat bukti elektronik, khusunya alat bukti elektronik merupakan dua alat bukti yang dapat dikatakan cukup berperan dalam proses penegakan hukum. Sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto (Soerjono Soekanto, 2007: 8), penegakan hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain: 1. Faktor hukumnya sendiri; 2. Faktor penegak hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat; 5. Faktor budaya. Alat bukti barang bukti dan alat bukti elektronik merupakan dua unsur baru yang dimasukkan dalam alat bukti. Dahulu, hakim kesulitan apabila harus menafsirkan beberapa barang bukti yang akan dikualifikasikan sebagai alat bukti, namun dengan adanya dua alat bukti baru tersebut, penegak hukum khususnya hakim sangat terbantu dalam mengkualifikasikan alat bukti. Tepatlah kiranya jika keberadaan pengamatan hakim dianggap yang paling potensial dalam rangka penemuan hukum untuk perubahan hukum. Dalam KUHAP sekarang, dengan alat bukti petunjuk hakim dapat mendapatkan keyakinan dengan mengubungkan keterangan saksi, surat serta keterangan terdakwa untuk memperoleh persesuaian. Namun dengan alat bukti pengamatan hakim, hakim diberikan keleluasaan untuk mendapatkan persesuaian dari peristiwa pidana, alat bukti dan pelaku melalui pengamatan langsung selama proes persidangan berjalan. Hakim dapat menafsirkan segala keterangan yang diberikan oleh masingmasing saksi, mengkonfrontasikan dengan keterangan terdakwa serta menyesuaikan dengan alat bukti barang bukti dan alat bukti lainnya yang ada. Namun pengamatan hakim tidak serta merta memberikan keleluasaan hakim untuk mendapatkan keyakinan tentang terjadinya tindak pidana dan menentukan pelaku tindak pidana. Dalam melakukan pengamatan, hakim dituntut untuk mengedepankan hati nuraninya dalam menilai pemeriksaan secara cermat dengan arif dan bijaksana untuk mendapatkan keyakinan tentang jalannya suatu perkara yang sedang diperiksa. Keberadaan alat bukti pengamatan hakim dalam menggantikan alat bukti petunjuk dengan segala keterbatasannya dianggap cukup layak. Sebagaimana dibahas juga tentang keutamaan alat bukti pengamatan hakim dibandingkan alat bukti petunjuk, diharapkan alat bukti baru yang ada dalam RUU KUHAP ini membawa banyak perubahan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Hakim bukanlah corong undang-undang, melainkan sebuah lembaga independen yang dapat membuat hukum melalui penafsiran dan menemukan hukum. Kegiatan menafsirkan oleh hakim, sebagaimana disampaikan oleh Pitlo (Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, 1993: 80)terdapat unsur menciptakan. Dapat dikatakan, bahwa mereka yang menelanjangi apa yang terdapat dibelakang teks, hanyalah mengkonstantir apa yang ada, tetapi tidak dapat disangkal bahwa pekerjaannya itu sekaligus bersifat mencipta, sebab tanpa kegiatan itu tidak dapat diketahui apa yang ada. Penafsir adalah seperti penggali harta karun, ia tidak menciptakan harta karun, tetapi tanpa kegiatannya menggali harta karun tidak ada artinya. Setiap penemuan adalah penciptaan. Demikian juga hakim yang menemukan hukum melalui penafsiran, maka ia telah melakukan penemuan hukum. Penemuan hukumpun dapat dikatakan pula sebagai pembaharuan hukum jika orientasi dari penemuan tersebut membawa perubahan.

Prinsip Hukum Pemberian Kuasa


Prinsip Hukum Pemberian Kuasa

Pengaturan mengenai kuasa pada prinsipnya  diatur dalam Bab XVI, Buku III Kitab Undang-undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), sedangkan aturan khususnya diatur pada Herziene Indonesische Reglement (“HIR”) dan Reglement voor de buitengewesten (“RBg”). Oleh karena itu, perlu dipahami beberapa prinsip hukum pemberian kuasa. Berikut di bawah ini terdapat beberapa prinsip hukum pemberian kuasa yang dianggap penting untuk diketahui, antara lain:
1. Penerima Kuasa Langsung berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa.
Pemberian kuasa mengatur hubungan hukum antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, dimana pemberi kuasa langsung menerbitkan dan memberi kedudukan serta kapasitas kepada penerima kuasa untuk menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu:
-          Memberi hak dan kewenangan (authority) kepada penerima kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
-          Tindakan penerima kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan penerima kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
-          Dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan penerima kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
2. Pemberian Kuasa Bersifat Konsensual
Sifat perjanjian kuasa adalah konsensual, yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa, serta berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara mereka. Pasal 1792 KUH Perdata dan Pasal 1793 ayat (1) KUH Perdata pada pokoknya menyatakan, pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan.
3. Bersifat Garansi-Kontrak
Kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas:
(i)       sepanjang kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
(ii)     apabila penerima kuasa bertindak melampaui batas mandat, maka tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan yang sesuai dengan mandat yang diberikan, sedangkan pelampauan itu menjadi tanggung jawab pribadi penerima kuasa, sesuai dengan asas “garansi-kontrak” yang diatur dalam Pasal 1806 KUH Perdata.

FUNGSI, TUGAS, WEWENANG DAN MEKANISME BERACARA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA


FUNGSI, TUGAS, WEWENANG DAN MEKANISME BERACARA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

I.   PENDAHULUAN
Dalam sisitem ketatanegaraan Republik Indonesia terdapat tiga pilar kekeuasaan negara, yaitu Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif (Kehakiman). Berkaitan dengan Kekuasaan Kehakiman, dalam Psl 24 UUD 1945 (Perubahan) Jo. UU No. 4 Thn 2004, ditegaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) sebagai lingkungan peradilan yang terakhir dibentuk, yang ditandai  dengan disahkannya Undang-undang No. 5 tahun 1986 pada tanggal 29 Desember 1986, dalam konsideran “Menimbang” undang-undang tersebut disebutkan bahwa salah satu tujuan dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) adalah untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum dan menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga masyarakat. Dengan demikian lahirnya PERATUN  juga menjadi bukti bahwa Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kepastian hukum dan Hak Asasi Manusia  (HAM).
Sebagai negara yang demokratis, Indonesia memiliki sistem ketatanegaraan dengan memiliki lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dari ketiga lembaga tersebut eksekutif memiliki porsi peran dan wewenang yang paling besar apabila dibandingkan dengan lembaga lainnya, oleh karenanya perlu ada kontrol terhadap pemerintah untuk adanya check and balances. Salah satu bentuk konrol yudisial atas tindakan administrasi pemerintah adalah melalui lembaga peradilan. Dalam konteks inilah maka Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN) dibentuk dengan UU No. 5 tahun 1986, yang kemudian dengan adanya tuntutan reformasi di bidang hukum, telah disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No. 5 Tahun 1986.
Perubahan yang sangat  mendasar dari UU No. 5 Tahun 1986 adalah dengan dihilangkannya wewenang  pemerintah ic. Departemen Kehakiman sebagai pembina organisasi, administrasi, dan keuangan serta dihilangkannya wewenang untuk melakukan pembinaan dan pengawasan umum bagi hakim PERATUN, yang kemudian semuanya beralih ke Mahkamah Agung. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan indepedensi lembaga PERATUN.
Di samping itu  adanya pemberlakuan sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi (terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan  PERATUN, menjadikan PERATUN yang selama ini dinilai oleh sebagian masyarakat sebagai “macan ompong”, kini telah mulai menunjukan “gigi” nya.
Sejak mulai efektif dioperasionalkannya PERATUN pada tanggal 14 Januari 1991 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1991, yang sebelumnya ditandai dengan diresmikannya tiga Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang, serta lima Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di jakarta, Medan, Palembang, Surabaya dan Ujung Pandang. Kemudian berkembang, dengan telah didirikannya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di seluruh Ibu Kota Propinsi sebagai pengadilan tingkat pertama. Hingga saat ini eksistensi dan peran PERATUN sebagai suatu lembaga peradilan yang mempunyai fungsi, tugas dan wewenang memeriksa, memutus dan mengadili sengketa tata usaha negara antara anggota masyarakat dengan pihak pemerintah (eksekutif), dirasakan oleh berbagai kalangan belum dapat memberikan kontribusi dan sumbangsi yang memadai di dalam memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat serta di dalam menciptakan prilaku aparatur yang bersih dan taat hukum, serta sadar akan tugas dan fungsinya sebagai pelayan dan pengayom masyarakat.
Sesuai dengan tujuan penyampaian materi ini, sebagai pembekalan kepada para aparat/pejabat publik, yang diharapkan dapat memiliki pengetahuan tentang ruang lingkup PERATUN, subjek dan objek, serta proses beracara di persidangan. Oleh karenanya dalam makalah ini penulis titik beratkan pada masalah Hukum Acara (Hukum Formil) di Peratun, namun demikian penulis juga menyajikan sekilas tentang Hukum Materil sebagai pengantar pembahasan Hukum Formil di Peratun. Hal ini bertujuan agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai aparatur pemerintah, dapat diantisipasi/dihindarkan permasalahan-permasalahan yang dapat menimbulkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Prefentif). Di samping itu jika terjadi juga gugatan tersebut, para pejabat terkait sudah dapat memahami tindakan-tindakan yang harus dilakukan berkaitan dengan adanya gugatan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara, atau dengan kata lain sudah dapat mengetahui bagaimana proses persidangan/mekanisme beracara di Pengadilan Tata Usaha Negara (Tujuan Refresif).
Penyajian makalah ini sengaja penulis sampaikan selengkap mungkin dengan tujuan memanfaatkan forum ini sebagai sarana sosialisasi Peratun, khususnya bagi para  aparat pemerintah , karena  memang harus diakui masih banyak kalangan masyarakat yang merasa asing dengan lembaga Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun).

II. RUANG LINGKUP, TUGAS DAN WEWENANG PERATUN
Peradilan Tata Usaha Negara adalah peradilan dalam lingkup hukum publik, yang mempunyai tugas dan wewenang : “memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara, yaitu suatu sengketa yang timbul dalam bidang hukum TUN antara orang atau badan hukum perdata (anggota masyarakat) dengan Badan atau Pejabat TUN (pemerintah) baik dipusat maupun didaerah sebagai akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN (beschikking), termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku “ (vide Pasal 50 Jo. Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004).
Berdasarkan uraian tersebut, secara sederhana dapat dipahami bahwa  yang menjadi subjek di Peratun adalah Seseorang atau Badan Hukum Perdata sebagai Penggugat, dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara sebagai Tergugat. Sementara itu yang menjadi objek di Peratun adalah Surat Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). Subjek dan Objek gugatan di Peratun ini lebih lanjut akan dijelaskan dalam pembahasan mengenai unsur-unsur dari suatu Surat Keputusan TUN berikut ini.
Pengertian dari Surat Keputusan TUN disebutkan dalam Pasal 1 angka 3, yaitu :
Keputusan Tata Usaha Negara adalah Suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.”
Selanjutnya dari pengertian ataupun definisi Keputusan TUN tersebut di atas, dapat diambil unsur-unsur dari suatu Keputusan TUN, yang terdiri dari
  1. Bentuk Penetapan tersebut harus Tertulis
Penetapan Tertulis itu harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan hukum yang pada dasarnya juga merupakan Keputusan TUN yang dikeluarkan secara lisan tidak masuk dalam pengertian Keputusan TUN ini. Namun demikian bentuk tertulis tidak selalu disyaratkan dalam bentuk formal suatu Surat Keputusan Badan/Pejabat TUN, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan pasal 1 angka 3 UU No. 5 tahun 1986, bahwa syarat harus dalam bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat dikategorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat (menjadi objek gugatan) apabila sudah jelas :
-      Badan atau Pejabat TUN yang mengeluarkannya.
-      Maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu.
-      Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas bersifat konkrit, individual dan final.
-      Serta menimbulkan suatu akibat hukum bagi seseorang atau Badan Hukum Perdata.
2.  Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN.
Sebagai suatu Keputusan TUN, Penetapan tertulis itu juga merupakan  salah satu instrumen yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan
atau  Pejabat  TUN  dalam rangka pelaksanaan suatu bidang  urusan  pemerintahan.   Selanjutnya mengenai apa dan siapa yang dimaksud dengan
Badan atau Pejabat TUN sebagai subjek Tergugat, disebutkan dalam pasal 1 angka 2 :
“Badan atau Pejabat Tata Usaha negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Badan atau Pejabat TUN di sini  ukurannya ditentukan oleh fungsi yang dilaksanakan Badan atau Pejabat TUN pada saat tindakan hukum TUN itu dilakukan. Sehingga apabila yang diperbuat itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku merupakan suatu pelaksanaan dari urusan pemerintahan, maka apa saja dan siapa saja yang melaksanakan fungsi demikian itu, saat itu juga dapat dianggap sebagai suatu Badan atau Pejabat TUN.
Sedang yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah segala macam urusan mengenai masyarakat bangsa dan negara yang bukan merupakan tugas legislatif ataupun yudikatif. Dengan demikian apa dan siapa saja tersebut tidak terbatas pada instansi-instansi resmi yang berada dalam lingkungan pemerintah saja, akan tetapi dimungkinkan juga instansi yang berada dalam lingkungan kekuasaan legislatif maupun yudikatif pun, bahkan dimungkinkan pihak swasta, dapat dikategorikan sebagai Badan atau Pejabat TUN dalam konteks sebagai subjek di Peratun.
3.  Berisi Tindakan Hukum TUN.
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, bahwa suatu Penetapan Tertulis adalah salah satu bentuk dari keputusan Badan atau Pejabat TUN, dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan hukum TUN, dan suatu tindakan hukum TUN itu adalah suatu keputusan yang menciptakan, atau menentukan mengikatnya atau menghapuskannya suatu hubungan hukum TUN yang telah ada. Dengan kata lain untuk dapat dianggap suatu Penetapan Tertulis, maka tindakan  Badan atau Pejabat TUN itu harus merupakan suatu tindakan hukum, artinya dimaksudkan untuk menimbulkan suatu akibat hukum TUN.
  1. Berdasarkan Peraturan Per UU an yang Berlaku.
Kata “berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan bahwa setiap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar keabsahan (dasar legalitas)  urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Badan atau Pejabat TUN (pemerintah). Dari kata “berdasarkan” itu juga dimaksudkan bahwa wewenang Badan atau Pejabat TUN untuk melaksanakan suatu bidang urusan pemerintahan itu hanya berasal atau bersumber ataupun diberikan oleh suatu ketentuan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  1. Bersifat Konkret, Individual dan Final.
Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, artinya objek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud, tertentu atau dapat ditentukan, seperti Pemberhentian si X sebagai Pegawai, IMB yang diberikan kepada si Y dan sebagainya.
Bersifat Individual artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Jadi sifat indivedual itu secara langsung mengenai hal atau keadaan tertentu yang nyata dan ada.
Bersifat Final artinya akibat hukum yang ditimbulkan serta dimaksudkan dengan mengeluarkan Penetapan Tertulis itu harus sudah menimbulkan akibat hukum yang definitif. Dengan mengeluarkan suatu akibat hukum yang definitif tersebut  ditentukan posisi hukum dari satu subjek atau objek hukum, hanya pada saat itulah dikatakan bahwa suatu akibat hukum itu telah ditimbulkan oleh Keputusan TUN yang bersangkutan secara final.
  1. Menimbulkan Akibat Hukum Bagi Seseorang / Badan Hukum Perdata.
Menimbulkan Akibat Hukum disini artinya menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hukum yang telah ada. Karena Penetapan Tertulis itu merupakan suatu tindakan hukum, maka sebagai tindakan hukum ia selalu dimaksudkan untuk menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Apabila tidak dapat menimbulkan akibat hukum ia bukan suatu tindakan hukum dan karenanya juga bukan suatu Penetapan Tertulis. Sebagai suatu tindakan hukum, Penetapan Tertulis harus mampu menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan-hubungan hukum yang telah ada, seperti melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan hubungan hukum yang telah ada, menetapkan suatu status dan sebagainya.
Di samping pengertian tentang Keputusan TUN dalam pasal 1 angka 3 tersebut diatas, dalam UU Peratun diatur juga  ketentuan tentang pengertian yang lain dari Keputusan TUN, sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 3, sebagai berikut :
(1) Apabila badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan, sedangkan hal itu menjadi kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan Keputusan Tata Usaha Negara.
(2) Jika suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak mengeluarkan keputusan yang dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan yang dimaksud.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2); maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan.”
Ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasan dari pengertian Keputusan TUN sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 3 diatas, yang disebut dengan Keputusan TUN yang Fiktif atau Negatif.
Uraian dari ayat (1) Pasal 3 tersebut merupakan prinsip dasar bahwa setiap Badan atau Pejabat TUN itu wajib melayani setiap permohonan warga masyarakat yang diterimanya, yang menurut aturan dasarnya menjadi tugas dan kewajibannya dari Badan atau Pejabat TUN tersebut. Oleh karenanya apabila badan atau Pejabat TUN melalaikan kewajibannya,  maka walaupun ia tidak mengeluarkan  keputusan terhadap suatu permohonan yang diterimanya itu, ia dianggap telah bertindak menolak permohonan tersebut.
Ada kalanya dalam aturan dasarnya ditentukan jangka waktu penyelesaian dari suatu permohonan, maka sesuai dengan ketentuan ayat (2) Pasal 3 tersebut, setelah lewat waktu yang ditentukan oleh aturan dasarnya, Badan atau Pejabat TUN belum juga menanggapinya (mengeluarkan keputusan) maka ia dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya.
Sementara itu dalam ayat (3) nya menentukan bahwa apabila aturan dasarnya tidak menyebutkan adanya batas waktu untuk memproses penyelesaian suatu permohonan yang menjadi kewajibannya, maka setelah lewat waktu 4 bulan Badan atau Pejabat TUN tersebut belum juga mengeluarkan keputusan, maka ia juga dianggap telah menolak permohonan yang diterimanya. Secara keseluruhan, ketentuan dalam Pasal 3 ini merupakan perluasandari pengertian Keputusan TUN (memperluas kompetensi pengadilan).
Selanjutnya disamping ketentuan yang memperluas pengertian Keputusan TUN sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 diatas,  juga UU Peratun mengatur tentang ketentuan yang mempersempit pengertian dari Keputusan TUN (mempersempit kompetensi pengadilan), artinya secara definisi masuk dalam pengertian suatu Keputusan TUN seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3, akan tetapi secara substansial tidaklah dapat dijadikan objek gugatan di Peratun. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 49, yang menyebutkan :
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Keadaan-keadaan tersebut diatas dapat terjadi pada prinsipnya tergantung pada hasil penafsiran dari apa yang ditentukan dalam masing-masing peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk masing-masing keadaan, seperti penetapan keadaan perang, keadaan bahaya, bencana alam dan sebagainya.
Selanjutnya dalam Pasal 2 disebutkan pengecualian dari Pengertian Keputusan TUN,  yaitu :“ Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini :
  1. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata.
  2. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum.
  3. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan.
  4. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan kitab Undang-undang  Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
  5. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  6. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
  7. Keputusan Komisi Pemilihan Umum  baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan umum.
III.  HUKUM ACARA  PERATUN
3.1.  Karakteristik Hukum Acara Di Peratun.
Secara sederhana Hukum Acara diartikan sebagai Hukum Formil yang  bertujuan untuk mempertahankan Hukum Materil. Hal-hal yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya di atas, merupakan ketentuan-ketentuan tentang Hukum Materil di Peratun. Sementara itu mengenai Hukum Formilnya juga diatur dalam UU No. 5 tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, mulai dari Pasal 53 s/d Pasal 132.
Penggabungan antara Hukum Materil dan Hukum Formil ini merupakan karakteristik tersendiri yang membedakan Peradilan TUN dengan Peradilan lainnya. Untuk mengantarkan pada pembahasan tentang Hukum Acara di Peratun ini, terlebih dahulu akan diuraikan hal-hal  yang merupakan ciri atau karakteristik Hukum Acara Peratun sebagai pembeda dengan Peradilan lainnya, khususnya Peradilan Umum (Perdata), sebagai berikut :
·          
o     
      • Adanya Tenggang Waktu mengajukan gugatan (Pasal 55).
      • Terbatasnya tuntutan yang dapat diajukan dalam petitum gugatan Penggugat (Pasal 53).
      • Adanya Proses Dismissal (Rapat Permusyawaratan) oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)  (Pasal 62).
      • Dilakukannya Pemeriksaan Persiapan sebelum diperiksa di persidangan yang terbuka untuk umum (Pasal 63).
      • Peranan Hakim TUN yang aktif (dominus litis) untuk mencari kebenaran materil (Pasal 63, 80, 85,95 dan 103).
      • Kedudukan yang tidak seimbang antara Penggugat dengan Tergugat, oleh karenanya “konpensasi” perlu diberikan karena kedudukan Penggugat diasumsikan dalam posisi yang lebih lemah dibandingkn dengan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
      • Sistem pembuktian yang mengarah pada pembuktian bebas yang terbatas (Pasal 107).
      • Gugatan di pengadilan tidak mutlak menunda pelaksanaan Keputusan TUN yang digugat (Pasal 67).
      • Putusan Hakim yang tidak boleh bersifat ultra petita yaitu melebihi apa yang dituntut dalam gugatan Penggugat, akan tetapi dimungkinkan adanya reformatio in peius (membawa Penggugat pada keadaan yang lebih buruk) sepanjang diatur dalam perundang-undangan.
      • Putusan hakim TUN yang bersifat erga omnes, artinya putusan tersebut tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa,  akan tetapi berlaku juga bagi pihak-pihak lainnya yang terkait.
      • Berlakunya azas audi et alteram partem, yaitu para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim menjatuhkan putusan.
3.2.  Gugatan.
3.2. 1. Pengertian Gugatan.
Mengenai pengertian dari gugatan dijelaskan dalam Pasal 1 angka 5, sebagai berikut :
Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan diajukan ke Pengadilan untuk mendapat putusan”
Gugatan di Peratun diajukan oleh seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya suatu Keputusan TUN. Oleh karenanya unsur adanya kepentingan dalam pengajuan gugatan merupakan hal yang sangat urgen dalam sengketa di Peratun. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 53 ayat (1), sebagai berikut :
Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang  berisi tuntutan agar KeputusanTata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi.
Dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) ini menjadi dasar siapa yang bertindak senagai Subjek Penggugat di Peratun, yaitu Orang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan TUN.
Selanjutnya Pasal 53 ayat (2) menyebutkan alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan, adalah:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Suatu gugatan yang akan diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara harus memuat hal-hal yang merupakan syarat formil suatu gugatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56, yaitu :
a. nama, kewarganegaraan, tempat tinggal dan pekerjaan penggugat atau kuasanya.
b. nama jabatan, dan tempat tinggal tergugat.
c. dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh pengadilan.
3.2.2. Pengajuan gugatan.
Menurut Pasal 54 ayat (1) gugatan sengketa TUN diajukan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat. Gugatan yang diajukan harus dalam bentuk tertulis, karena gugatan itu akan menjadi pegangan bagi pengadilan dan para pihak selama pemeriksaan.
Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan Tata Usaha Negara, gugatan diajukan pada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara. Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan  tempat kediaman Penggugat, maka gugatan diajukan kepada pengadilan tempat kedudukan Penggugat untuk diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan. Sedangkan apabila Penggugat dan Tergugat berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, dan apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat diluar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara di tempat kedudukan Tergugat.
Salah satu kekhususan di Peratun juga berkaitan dengan fungsi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) yang bukan saja sebagai pengadilan tingkat banding, akan tetapi juga mempunyai fungsi sebagai pengadilan tingkat pertama seperti halnya Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hal ini terjadi apabila sengketa TUN tersebut berkaitan dengan ketentuan Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, yaitu yang mengatur tentang upaya banding administratif. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 51 ayat (3) UU No. 5 Tahun 1986 Jo. UU No. 9 Tahun 2004, sebagai berikut :
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ”.
Berhubung sengketa TUN selalu berkaitan dengan keputusan Tata Usaha Negara, maka pengajuan gugatan ke Pengadilan dikaitkan pula dengan waktu dikeluarkannya keputusan yang bersangkutan.
Pasal 55 menyebutkan bahwa :
“ Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan ”.
Dalam hal gugatan didasarkan pada alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 (Keputusan Fiktif-Negatif), maka tenggang waktu 90 (sembilan puluh) hari itu, dihitung setelah lewatnya tenggang waktu yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya, yang dihitung sejak tanggal diterimanya permohonan yang bersangkutan. Seandainya peraturan perundang-undangan yang menjadi dasarnya tidak menentukan tenggang waktunya, maka dihitung sejak sejak lewatnya tenggang waktu 4 (empat) bulan yang dihitung sejak diterimanya permohonan yang bersangkutan. Bilamana tenggang waktu tersebut diatas telah lewat, maka hak untuk menggugat menjadi gugur karena telah daluarsa.
Diajukannya suatu gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada prinsipnya tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya  keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta tindakan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat. Namun demikian Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan agar Surat Keputusan yang digugat tersebut ditunda pelaksanaannya selama proses berjalan, dan permohonan tersebut hanya dapat dikabulkan oleh pengadilan apabila adanya alasan yang sangat mendesak yang mengakibatkan kepentingan Penggugat akan sangat dirugikan jika Keputusan TUN yang digugat itu tetap dilaksanakan (Pasal 67 ayat 4 a).
3.3.  Pemeriksaan di persidangan
3.3. 1. Pemeriksaan Pendahuluan.
Berbeda dengan peradilan lainnya, Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai suatu kekhususan dalam proses pemeriksaan sengketa, yaitu adanya tahap Pemeriksaan Pendahuluan.
Pemeriksaan Pendahuluan ini terdiri dari :
a.      Rapat permusyawaratan/Proses Dismissal (Pasal 62).
b.      Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63).
Ad. a. Rapat Permusyawaratan (Proses Dismissal) :
Rapat permusyawaratan yang disebut juga dengan Proses Dismissal atau tahap penyaringan yang merupakan wewenang Ketua Pengadilan, diatur dalam Pasal 62. Dalam proses dismissal ini Ketua Pengadilan, setelah melalui pemeriksaan administrasi di kepaniteraan, memeriksa gugatan yang masuk. Apakah gugatan tersebut telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana diatur dalam UU Peratun dan apakah memang termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara untuk mengadilinya.
Dalam proses dismissal Ketua Pengadilan berwenang memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan tidak diterima atau tidak berdasar, apabila :
a. Pokok gugatan, yaitu fakta yang dijadikan dasar gugatan, nyata-nyata tidak termasuk wewenang Pengadilan.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diperingatkan.
c. gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang  layak.
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat.
e.     Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara mengenai hal ini diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua belah pihak. Terhadap penetapan ini dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah diucapkan. Perlawanan tersebut harus dengan memenuhi syarat-syarat seperti gugatan biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 56.
Perlawanan diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dengan acara singkat, yang dilakukan oleh Majelis Hakim. Apabila perlawanan tersebut diterima atau dibenarkan oleh Pengadilan yang bersangkutan melalui acara singkat, maka Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara yang diambil dalam rapat permusyawaratan tersebut dinyatakan gugur demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa. Terhadap putusan pengadilan mengenai perlawanan tidak dapat digunakan upaya hukum seperti banding dan kasasi, karena putusan tersebut dianggap sebagai putusan tingkat pertama dan terakhir, sehingga telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Ad. b. Pemeriksaan Persiapan.
Pemeriksaan persiapan diadakan mengingat posisi Penggugat di Peratun pada umumnya adalah warga masyarakat yang diasumsikan mempunyai kedudukan lemah dibandingkan dengan Tergugat sebagai Pejabat Tata Usaha Negara sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.  Dalam posisi yang lemah tersebut sangat sulit bagi Penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan untuk kepentingan pengajuan gugatan dari Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat.
Pemeriksaan Persiapan dilakukan di ruang tertutup bukan di ruang persidangan yang terbuka  untuk umum. Dalam Pemeriksaan Persiapan Hakim wajib dan berwenang untuk  :
  • Memberikan nasehat atau arahan-arahan kepada  Penggugat untuk memperbaiki gugatannya dan melengkapai surat-surat atau data-data yang diperlukan dalam tenggang waktu 30 hari.
  • Meminta penjelasan kepada pihak Tergugat mengenai segala sesuatu yang mempermudah pemeriksaan sengketa di persidangan
Apabila jangka waktu 30 hari  yang ditetapkan untuk memperbaiki gugatannya tersebut tidak dipenuhi oleh Penggugat, maka Majelis Hakim akan memberikan putusan yang menyatakan gugatan Penggugat dinyatakan tidak dapat diterima, dan atas putusan tersebut tidak ada upaya hukum, namun masih dapat diajukan gugatan baru.
3.3.2.  Pemeriksaan Tingkat Pertama.
Pemeriksaan di tingkat pertama pada umumnya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), terkecuali untuk sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, sengketa tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administratif sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 48 UU Peratun, maka pemeriksaan di tingkat pertama dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Pemeriksaan ditingkat pertama ini dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara :
a.      Pemeriksaan dengan acara biasa.
b.      Pemeriksaan dengan acara cepat.
Dalam proses pemeriksaan sengketa TUN dimungkinkan pula adanya pihak ketiga yaitu orang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan suatu sengketa yang sedang berjalan (Pasal 83).
3.4.  Putusan Pengadilan
Dalam hal pemeriksaan sengketa telah selesai, mulai dari jawab menjawab, penyampaian surat-surat bukti dan mendengarkan keterangan saksi-saksi, maka selanjutnya para pihak diberikan kesempatan untuk menyampaikan kesimpulan yang merupakan pendapat akhir para pihak yang bersengketa (Pasal 97 ayat 1). Setelah kesimpulan disampaikan, kemudian hakim menunda persidangan untuk bermusyawarah guna mengambil putusan.
Putusan pengadilan yang akan diambil oleh hakim dapat berupa ( Pasal 97 ayat (7)  ) :
a. Gugatan ditolak.
b. Gugatan dikabulkan.
c. Gugatan tidak diterima.
d. Gugatan gugur.
Terhadap gugatan yang dikabulkan, maka pengadilan akan menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan kepada Badan atau Pejabat TUN selaku Tergugat, yaitu berupa ( Pasal 97 ayat (9) ) :
a. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan.
b. Pencabutan Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru.
c. Penerbitan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada Pasal 3.
Disamping kewajiban-kewajban tersebut pengadilan juga dapat membebankan kewajiban kepada Tergugat untuk membayar ganti rugi dan pemberian rehabilitasi dalam hal menyangkut sengketa kepegawaian.
IV. UPAYA HUKUM
4.1.  Upaya Hukum Banding.
Terhadap para pihak yang merasa tidak puas atas putusan yang diberikan pada tingkat pertama (PTUN), berdasarkan ketentuan Pasal 122 UU Peratun terhadap putusan PTUN tersebut dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh Penggugat atau Tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN).
Permohonan pemeriksaan banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasanya yang khusus diberi kuasa untuk itu, kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut, dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan  diberitahukan kepada yang bersangkutan secara patut.
Selanjutnya selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sesudah permohonan pemeriksaan banding dicatat, Panitera memberitahukan kepada kedua belah pihak bahwa mereka dapat melihat berkas perkara di Kantor Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari setelah mereka menerima pemberitahuan tersebut.
Para pihak dapat menyerahkan memori atau kontra memori banding, disertai surat-surat dan bukti kepada Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, dengan ketentuan bahwa salinan memori dan kontra memori banding diberikan kepada pihak lawan dengan perantara Panitera Pengadilan (Pasal 126).
Pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi TUN dilakukan sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang hakim. Dalam hal Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan Pengadilan Tata Usaha Negara kurang lengkap, maka Pengadilan Tinggi tersebut dapat mengadakan sendiri untuk pemeriksaan tambahan atau memerintahkan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan.
Setelah pemeriksaan di tingkat banding selesai dan telah diputus oleh Pengadilan  Tinggi TUN yang bersangkutan, maka Panitera Pengadilan Tinggi TUN yang bersangkutan, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari mengirimkan salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut beserta surat-surat pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan TUN yang memutus dalam pemeriksaan tingkat pertama, dan selanjutnya meneruskan kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 127).
Mengenai pencabutan kembali suatu permohonan banding dapat dilakukan setiap saat sebelum sengketa yang dimohonkan banding itu diputus oleh Pengadilan Tinggi TUN. Setelah diadakannya pencabutan tersebut permohonan pemeriksaan banding tidak dapat diajukan oleh yang bersangkutan, walaupun tenggang waktu untuk mengajukan permohonan pemeriksaan banding belum lampau (Pasal 129).
4.2.  Upaya Hukum Kasasi dan Peninjauan Kembali.
Terhadap putusan pengadilan tingkat Banding dapat dilakukan upaya hukum Kasasi ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan ditingkat Kasasi diatur dalam pasal 131 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa pemeriksaan tingkat terakhir di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dapat dimohonkan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Untuk acara pemeriksaan ini dilakukan menurut ketentuan UU No.14 Tahun 1985 Jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Menurut Pasal 55 ayat (1) UU Mahkamah Agung, pemeriksaan kasasi untuk perkara yang diputus oleh Pengadilan dilingkungan Pengadilan Agama atau oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dilakukan menurut ketentuan UU ini. Dengan demikian sama halnya dengan ketiga peradilan yang lain, yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Militer, maka Peradilan Tata Usaha Negara juga berpuncak pada Mahkamah Agung.
Sementara itu apabila masih ada diantara para pihak masih belum puas terhadap putusan Hakim Mahkamah Agung pada tingkat Kasasi, maka dapat ditempuh upaya hukum luar biasa yaitu Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung RI. Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peratun, yang menyebutkan bahwa :
Ayat  (1) : “Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali pada Mahkamah Agung.”
Ayat  (2) :  “Acara pemeriksaan Peninjauan Kembali ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”
V.  PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan hanyalah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, demikian ditegaskan dalam Pasal 115 UU Peratun.
Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya bahwa terhadap putusan tersebut telah tidak ada lagi upaya hukum, atau dapat juga masih ada upaya hukum akan tetapi oleh para pihak upaya hukum tersebut tidak ditempuh dan telah lewat tenggang waktu yang ditentukan oleh UU.
Sebagai contoh, putusan PTUN Yogyakarta seharusnya dapat diajukan upaya hukum banding ke PTTUN Surabaya, akan tetapi karena telah lewat waktu 14 hari sebagaimana yang ditetapkan UU, para pihak tidak ada yang mengajukan upaya hukum tersebut, sehingga putusan PTUN Yogyakarta tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang kemudian dapat diajukan permohonan eksekusinya.
Mengenai mekanisme atau prosedur eksekusi ini diatur dalam Pasal 116 s/d 119 UU Peratun. Sebagaimana telah dikemukakan pada bagian sebelumnya, dengan lahirnya UU No. 9 Tahun 2004, putusan Peratun telah mempunyai kekuatan eksekutabel. Hal ini dikarenakan adanya sanksi berupa dwangsom dan sanksi administratif serta publikasi terhadap Badan atau Pejabat TUN (Tergugat) yang tidak mau melaksanakan putusan Peratun.
Lebih lanjut  Pasal 116  UU No. 9 Tahun 2004, menyebutkan prosedur eksekusi di Peratun, sebagai berikut :
(1) Salinan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari.
(2) Dalam hal 4 (empat) bulan setelah putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikirimkan, Tergugat tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf a, Keputusan yang diperseketakan itu tidak mempunyai kekuatan hukum lagi.
(3) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) haruf b dan huruf c, dan kemudian setelah 3 (tiga) bulan ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakannya, penggugat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan tersebut.
(4)        Dalam hal Tergugat tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terhadap pejabat yang bersangkutan dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau sanksi administratif.
(5)        Pejabat yang tidak melaksanakan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diumumkan pada media massa cetak setempat oleh Panitera sejak tidak terpenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).

Minggu, 01 Januari 2012

Tinjauan Umum Pembuktian Pidana terhadap Alat Bukti Surat


Paton dalam bukunya A Textbook Jurisprudence menyatakan bahwa, “alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau material.” Alat bukti yang bersifat oral merupakan kata yang diucapkan seorang dalam pengadilan (keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa), artinya kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral. Alat bukti yang bersifat documentary adalah alat bukti surat atau alat bukti tertulis, sedang alat bukti yang bersifat material adalah alat bukti barang fisik yang tampak atau dapat dilihat selain dokumen/ alat bukti yang bersifat material (demonstrative evidence).
Hukum acara pidana di bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, dimana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan adalah alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu[1]:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Definisi Surat Menurut Ahli dan KUHAP
Sebelum masuk dalam pembatasan pemahaman alat bukti surat, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu surat. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, surat adalah “kertas yang tertulis (dengan berbagai isi maksudnya)[2].” Selanjutnya beberapa ahli memberikan definisi surat sebagai berikut.
Menurut Sudikno Mertokusumo:

”Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.”
Menurut Asser-Anema yang dikutip oleh Andi Hamzah, “surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran[3].” Selanjutnya menurut Pitlo, yang termasuk surat adalah segala sesuatu yang mengandung buah pikiran atau isi hati seseorang. Dengan demikian potret atau gambar tidak dapat dikatakan sebagai surat karena tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran[4].
Pengertian surat menurut KUHAP adalah surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 187 KUHAP, yaitu yang dibuat atas sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah, yaitu:
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Jadi pada dasarnya surat yang termasuk dalam alat bukti surat yang disebut disini ialah “surat resmi” yang dibuat oleh “pejabat umum” yang berwenang membuatnya. Surat resmi dapat bernilai sebagai alat bukti dalam suatu perkara pidana apabila:
  1. Memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh pejabat itu sendiri.
b. Disertai dengan alasan yang jelas dan tegas mengenai keterangannya itu.[5]
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Jenis surat ini dapat dikatakan hampir meliputi segala jenis surat yang dibuat oleh pengelola administrasi dan kebijakan eksekutif. Contoh: Kartu Tanda Penduduk, Akta Keluarga, Akta Tanda Lahir, dan sebagainya.
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Contoh: Visum Et Repertum dari Ahli Kedokteran Kehakiman.
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari surat alat pembuktian lain (surat pada umumnya). Contoh: buku harian seorang pembunuh yang berisi catatan mengenai pembunuhan yang pernah ia lakukan.


[1] Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76, TLN. 3209 Tahun 1981, ps.184
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 1108
[3] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Edisi Revisi, cet.3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 271.
[4] Martiman Prodjohamdjo, Sistem Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 24.
[5] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, cet.6, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal 306.

Asas-asas hukum acara pidana

1. Asas Legalitas
Yaitu adanya persamaan kedudukan, perlindungan, dan keadilan di hadapan hukum.

2. Asas Keseimbangan
Yaitu proses hukum yang ada haruslah menegakkan hak asasi manusia dan melindungi ketertiban umum.

3. Asas Praduga Tak Bersalah 
Yaitu tidak menetapkan seseorang bersalah atau tidak sebelum adanya putusan pengadilan yang tetap.

4. Asas Unifikasi
Yaitu penyamaan keberlakuan hukum acara pidana di seluruh wilayah Indonesia

5. Asas Ganti rugi dan Rehabilitasi.
Yaitu adanya ganti rugi dan rehabilitasi bagi pihak yang dirugikan karena kesalahan dalam proses hukum.

6. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Yaitu pelaksanaan peradilan secara tidak berbelit-belit dan dengan biaya yang seminim mungkin guna menjaga kestabilan terdakwa.

7. Asas Oportunitas
Yaitu hak seorang Jaksa untuk menuntut atau tidak demi kepentingan umum.

8. Asas akusator 
Yaitu penempatan tersangka sebagai subjek yang memiliki hak yang sama di depan hukum.

9. Prinsip Pembatasan Penahanan
Yaitu menjamin hak-hak asasi manusia dengan membatasi waktu penahanan dalam melalui proses hukum.

10. Prinsip Diferensiasi Fungsional
Yaitu penegasan batas-batas kewenangan dari aparat penegak hukum secara instansional.

11. Prinsip Saling Koordinasi
Yaitu adanya hubungan kerja sama di antara aparat penegak hukum untuk menjamin adanya kelancaran proses hukum.

12. Prinsip Penggabungan Pidana dengan Tuntutan Ganti Rugi
Yaitu dipakainya gugatan ganti rugi secara perdata untuk menyelesaikan kasus pidana yang berhubungan dengan harta kekayaan.

13. Peradilan tebuka Untuk Umum
Yaitu hak dari publik untuk menyaksikan jalannya peradilan (kecuali dalam hal-hal tertentu).

14. Kekuasaan Hakim yang Tetap
Yaitu peradilan harus dipimpim oleh eorang/sekelompk hakim yang memiliki kewenangan yang sah dari pemerintah.

15. Pemeriksaan Hakim Yang langsung dan lisan
Yaitu peradilan dilakukan oleh hakim secara langsung dan lisan (tidak menggunakan tulisan seperti dalam hukum acara perdata.

16. Bantuan hukum bagi terdakwa
Yaitu adanya bantuan hukum yang diberikan bagi terdakwa.


Daftar Pustaka:
Hamzah, Andy. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, Yahya. 2004. Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Prinst, Darwin. 1989. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan.
Prodjodikoro, Wiryono. 1985. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.