Minggu, 01 Januari 2012

POLIGAMI MENURUT UU NO 1 TAHUN 1974


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling sering dibicarakan dan menimbulkan kontroversi. Poligami memang dapat dilihat dengan beragam perspektif. Perspektif hukum merupakan salah satu pintu masuk (entry point) dalam memahami persoalan poligami. Regulasi poligami, dengan demikian, menjadi penting untuk dikaji.
Masalah poligami merupakan salah satu isu yang diatur dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, yakni berupa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
           
B. Rumusan masalah
Ø  Apa yang dimaksud dengan poligami . . . ?
Ø  Kewajiban dan pembagian harta suami terhadap istri ke dua . . . ?
Ø  Apa sanksinya bagi setiap pelanggaran poligami. . . ?

C. Tujuan penulisan
Bedasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan penulisan ini adalah pembaca mengetahui bahwasanya perundang-undangan Indonesia mempunyai UU yang mengatur masalah tentang poligami.

D. Telaah pustaka
Penelitian kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan, mengumpulkan data – data dan keterangan melalui buku – buku dan bahan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah – masalah yang diteliti.

E. Metode penelitian
Dalam hal ini penulis menggunakan metode deskritif, sebagaimana ditujukan oleh namanya, Pembahasan ini bertujuan untuk memberi gambaran

BAB II
PEMBAHASAAN


Tinjauan Umum Tentang Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan dari poli atau polus, artinya banyak, dan kata gamein atau gamos artinya kawin atau perkawinan. Jadi perkataan poligami dapat diartikan sebagai suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang. Atau Perkawinan Poligami merupakan  sebuah bentuk perkawinan dimana seorang lelaki mempunyai beberapa orang isteri dalam waktu yang sama. Seorang suami mungkin mempunyai dua isteri atau lebih pada saat yang sama.
Tunisia adalah satu-satunya negara Muslim yang melarang poligami sekarang ini. Fatwa dan tafsir Abduh yang dipegang  Presiden Tunisia Bourguiba pada tahun 1956 untuk mensahkan undang-undang (UU) yang melarang poligami. Namun, Turki saat pemerintahan Musthafa Kemal Ataturk pada tahun 1926 juga melarang poligami.
UU Tunisia yang tegas dan sangat berani melarang poligami tidak diikuti negara lain. Justru sebaliknya, hampir semua negara Muslim di dunia melegalisasi poligami, seperti di Yaman Selatan (1974), Siria (1953), Mesir (1929), Maroko (1958), Pakistan (1961), dan negara Muslim lain Lalu di manakah posisi Indonesia berkaitan dengan poligami itu?
Poligami di Indonesia juga disahkan Sesuai Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu :
·         Ayat 1 Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tersebut di atas membuka kemungkinan seorang suami dapat melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama tentunya dengan ijin pengadilan.
·         Ayat 2a Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh fihak-fihak yang bersangkutan
·         Ayat 2b. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Tata cara dan syarat poligami menurut uu perkawinan
Adapun syarat utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu. Disamping itu si suami harus terlebih dahulu mendapat ijin dari pengadilan agama, jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan, sesuai yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu:
·         Ayat 1 : Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
 Pengadilan agama, baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang tercantum sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu:
·         Ayat 2 : Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila :
a.       isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b.       isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c.       isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan, suami harus pula memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang alasan yang dapat dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menentukan:
·         Ayat 1 : Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
b.      adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
c.       adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
·         Ayat 2 : Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

PP no 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan beristri lebih dari seorang atas UUP no 1 tahun 1974.
Dalam PP No. 9 Tahun 1975 mengatur lebih terperinci tentang Pelaksanaan poligami Atas UUP no 1 tahun 1974 tentang Pelaksanaan beristri lebih dari seorang. Yaitu :
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
1.    Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, ialah:
·         bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
·         bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
·         bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
2.    ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
3.    ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
·           surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja atau.
·           surat keterangan pajak penghasilan atau.
·           surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
4.    ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan ntuk itu.
Pasal 42
A.    Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
B.     Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.



Kewajiban suami terhadap istri ke dua, dan pembagian harta terhadap istri pertama dan istri ke dua
Kewajiban suami terhadap istri ke dua, dan pembagian harta terhadap istri pertama dan istri ke dua ditinjau menurut UU perkawinan no 1 Tahun 1974 sebagai berikut :

Pasal 65
Ayat 1 : dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang baik berdasarkan hokum lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
a.       Suami wajib memberikan jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya.
b.      Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi.
c.       Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
Ayat 2 : Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri lebih dari seorang menurut Undang-
undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal
ini.

IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL
Pasal 4
(PP no 45 tahun 1990)
Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil

1.              Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
2.              Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
3.              Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara tertulis.
4.              Dalam surzt permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, harus dicantumkan alasan ysng lengksp ysng didasari permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.
Pasal 5
1.      Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan kepada Pejabat melalui saluran tertulis.
2.      permintaan izin dari Pegawai Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk Setiap atasan yang menerima melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan dan meneruskannya kepada Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima permintaan izin dimaksud".

Pasal 9
1.      Pejabat yang menerima perniintaan izin untuk beristri lebih dari seorang sebagaimana Dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam surat pemintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan
2.      Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat memberikan keterangan yang meyakinkan.
3.      Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya untuk diberi nasehat.
Pasal 10
(Menurut PP no 10 tahun 1983)

1.      Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.
2.      Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah :
a.                   isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b.                   isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
c.                   isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
3.    Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah :
a.                   ada persetujuan tertulis dari isteri.
b.                  Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan dan
c.                   ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
4.    Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila :
a.       bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan;
b.      tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3).
c.       bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d.      alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau.
e.       ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Pasal 11
1.      Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/ keempat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila :
a.     ada persetujuan tertulis dari isteri bakal suami.
b.    bakal suami mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari
seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak penghasilan.
c.    ada jaminan tertulis dari bakal suami bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
2.      Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi isteri kedua/ketiga/ keempat, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3), tidak diberikan oleh Pejabat apabila :
a.         bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri Sipil wanita yang bersangkutan atau bakal suaminya.
b.         tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
c.         bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan/atau
d.        ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Pasal 12
Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang yang berkedudukan sebagai :
1.    Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I, wajib meminta izin lebih dahulu dari Presiden.
2.    Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II termasuk Walikota di Daerah Khusus Ibukota Jakarta dan Walikota Administratif, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.
3.    Pimpinan Bank milik Negara kecuali Gubernur Bank Indonesia dan pimpinan Badan Usaha milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri yang secara teknis membawahi Bank milik Negara atau Badan Usaha milik Negara yang bersangkutan.
4.    Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha milik Daerah, wajib meminta izin lebih dahulu dari Kepala Daerah yang bersangkutan.

Sanksi Adanya Pelanggaran Perkawinan Dan Poligami
 (MENURUT UU NO 1 TAHUN 1974)
Pasal 45
(1) Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
A.       Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, 10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah). Pasal 3,10 ayat 3 yaitu :
Pasal 3
1.      Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan dilangsungkan.
2.      Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3.      Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah.

Pasal 10
Ayat 3 : Dengan mengindahkan tatacara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dankepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang.
B.       Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat (1),11, 13, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) diatas merupakan pelanggaran.

PP N0 9 Tahun 1975
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.


Sanksi Adanya Pelanggaran Perkawinan Dan Poligami
Menurut PP NOMOR 10 TAHUN 1983
(TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL)
Pasal 16
Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.


Dampak poligami
Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami yaitu :
  1. Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
  2. Dampak ekonomi: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam praktiknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
  3. Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekuensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
  4. Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
  5. Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.





BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari uraian di atas jelaslah bahwa Hukum Perkawinan Indonesia sebenarnya telah berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar.
1.            mampu secara ekonomi-finansial menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan (sandang-pangan-papan) keluarga (istri-istri dan anak-anak), dan
2.                  (ii) mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya sehingga istri-istri dan anak-anak dari suami yang berpoligami tidak disia-siakan.
3.                  Pada saat yang sama, Hukum Perkawinan Indonesia juga menghargai kedudukan istri sebagai mitra hidup suami karena suami harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan istri/para istri apabila hendak berpoligami.

SARAN
Dari hasil makalah ini penulis mengharapkan agar pemerintah membuat atau memperbaiki UU sebelumnya yaitu UU no1 tahun 1974, agar masyarakat takut dan tidak akan mengulanginya dengan adanya sangsi yang tegas, karena UU ini telah tertinggal jauh oleh perkembangan masyarakat dan banyak masyarakat dengan leluasanya menyimpang dari ketentuan pasal yang mengatur tentang poligami dan perkawinan.

1 komentar: