BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Poligami merupakan
salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling sering dibicarakan dan menimbulkan kontroversi. Poligami memang dapat
dilihat dengan beragam perspektif. Perspektif hukum merupakan salah satu
pintu masuk (entry point)
dalam memahami persoalan poligami. Regulasi
poligami, dengan demikian, menjadi
penting untuk dikaji.
Masalah poligami merupakan salah
satu isu yang diatur
dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, yakni berupa Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
B.
Rumusan masalah
Ø
Apa
yang dimaksud dengan poligami . . . ?
Ø
Kewajiban dan
pembagian harta suami terhadap istri ke dua . . . ?
Ø
Apa sanksinya
bagi setiap pelanggaran poligami. . . ?
C.
Tujuan penulisan
Bedasarkan
rumusan masalah yang telah dikemukakan, tujuan penulisan ini adalah pembaca
mengetahui bahwasanya perundang-undangan Indonesia mempunyai UU yang mengatur
masalah tentang poligami.
D.
Telaah pustaka
Penelitian
kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan, mengumpulkan
data – data dan keterangan melalui buku – buku dan bahan lainnya yang ada
hubungannya dengan masalah – masalah yang diteliti.
E.
Metode penelitian
Dalam
hal ini penulis menggunakan metode deskritif, sebagaimana ditujukan oleh
namanya, Pembahasan ini bertujuan untuk memberi gambaran
BAB II
PEMBAHASAAN
Tinjauan Umum Tentang
Poligami
Kata poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan
dari poli atau polus, artinya banyak, dan kata gamein
atau gamos artinya
kawin atau perkawinan. Jadi perkataan poligami dapat diartikan sebagai suatu perkawinan yang banyak atau suatu perkawinan yang lebih dari seorang. Atau
Perkawinan Poligami merupakan sebuah bentuk
perkawinan dimana seorang lelaki mempunyai beberapa orang isteri dalam waktu yang sama. Seorang suami mungkin mempunyai dua isteri atau lebih pada saat yang sama.
Tunisia adalah satu-satunya negara
Muslim yang melarang poligami sekarang ini. Fatwa dan tafsir Abduh yang
dipegang Presiden Tunisia Bourguiba pada
tahun 1956 untuk mensahkan undang-undang (UU) yang melarang poligami. Namun,
Turki saat pemerintahan Musthafa Kemal Ataturk pada tahun 1926 juga melarang
poligami.
UU Tunisia yang tegas dan sangat berani
melarang poligami tidak diikuti negara lain. Justru sebaliknya, hampir semua
negara Muslim di dunia melegalisasi poligami, seperti di Yaman Selatan (1974),
Siria (1953), Mesir (1929), Maroko (1958), Pakistan (1961), dan negara Muslim
lain Lalu di manakah posisi Indonesia berkaitan dengan poligami itu?
Poligami di Indonesia juga
disahkan Sesuai Ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan yaitu :
·
Ayat 1 Pada azasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
Ketentuan Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang perkawinan tersebut
di atas membuka kemungkinan seorang
suami dapat melakukan poligami apabila dikehendaki oleh istri pertama
tentunya dengan ijin pengadilan.
·
Ayat 2a Pengadilan, dapat memberi izin kepada
seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh
fihak-fihak yang bersangkutan
·
Ayat 2b. Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1)
huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat
menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya
selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang
perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
Tata cara dan syarat
poligami menurut uu perkawinan
Adapun syarat
utama yang harus dipenuhi adalah suami mampu berlaku adil terhadap istri istrinya dan anak-anaknya, akan tetapi jika si suami tidak bisa memenuhi maka suami dilarang beristri lebih dari satu. Disamping
itu si suami harus terlebih dahulu
mendapat ijin dari pengadilan agama,
jika tanpa ijin dari pengadilan agama maka perkawinan tersebut
tidak mempunyai kekuatan hukum. Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang
maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis
kepada Pengadilan, sesuai yang
tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
yaitu:
·
Ayat 1 : Dalam hal seorang suami akan beristeri
lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat 2 Undang-undang
ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
Pengadilan agama, baru dapat memberikan ijin kepada suami untuk berpoligami apabila ada alasan yang
tercantum sesuai dengan persyaratan-persyaratan dalam
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu:
·
Ayat 2 : Pengadilan dimaksud data ayat (1) pasal
ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari
seorang apabila :
a. isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan.
c. isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk mendapatkan ijin dari pengadilan, suami harus pula memenuhi syarat-syarat tertentu disertai dengan alasan yang dapat dibenarkan. Tentang alasan yang dapat dibenarkan ini lebih lanjut diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan yang menentukan:
·
Ayat 1 : Untuk dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang
ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. adanya
persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
b. adanya
kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri
dan anak-anak mereka.
c. adanya
jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak
mereka.
·
Ayat 2 : Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya
tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun,
atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat
penilaian dari Hakim Pengadilan.
PP no 9 tahun 1975
tentang Pelaksanaan beristri lebih dari seorang atas UUP no 1 tahun 1974.
Dalam PP No. 9 Tahun 1975 mengatur lebih terperinci
tentang Pelaksanaan poligami Atas UUP no 1 tahun 1974 tentang Pelaksanaan beristri lebih dari seorang. Yaitu :
Pasal 40
Apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang
maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan.
Pasal 41
Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:
1. Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin
lagi, ialah:
·
bahwa isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
·
bahwa isteri mendapat cacat
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
·
bahwa isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
2. ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan
maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan,
persetujuan itu harus diucapkan didepan sidang pengadilan.
3. ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan
hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:
·
surat keterangan mengenai
penghasilan suami yang ditanda-tangani oleh bendahara tempat bekerja atau.
·
surat keterangan pajak
penghasilan atau.
·
surat keterangan lain yang dapat
diterima oleh Pengadilan.
4. ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari
suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan ntuk itu.
Pasal 42
A. Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41,
Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan.
B. Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari
setelah diterimanya, surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Pasal 43
Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon
untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang
berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang.
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk
melakukan pencatatan perkawinan
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin
Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
Kewajiban suami
terhadap istri ke dua, dan pembagian harta terhadap istri pertama dan istri ke
dua
Kewajiban suami terhadap istri ke dua,
dan pembagian harta terhadap istri pertama dan istri ke dua ditinjau menurut UU
perkawinan no 1 Tahun 1974 sebagai berikut :
Pasal 65
Ayat 1 : dalam hal seorang
suami beristeri lebih
dari seorang baik berdasarkan hokum
lama maupun berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini maka berlakulah ketentuan-ketentuan berikut:
a.
Suami wajib memberikan
jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya.
b.
Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah
ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi.
c.
Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
Ayat 2 : Jika Pengadilan yang memberi izin untuk beristeri
lebih dari seorang
menurut Undang-
undang ini tidak menentukan lain, maka berlakulah ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal
ini.
IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL
Pasal 4
(PP no 45 tahun 1990)
Tentang Izin Perkawinan Dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil
1.
Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.
2.
Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk
menjadi istri kedua/ketiga/keempat.
3.
Permintaan izin sebagaimana
dimaksud
dalam ayat (1) diajukan
secara tertulis.
4.
Dalam surzt permintaan izin
sebagaimana dimaksud dalam ayat 3, harus dicantumkan alasan ysng lengksp ysng didasari
permintaan izin untuk beristri lebih dari seorang.
Pasal 5
1.
Permintaan izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 dan Pasal 4 diajukan
kepada Pejabat melalui
saluran tertulis.
2. permintaan izin dari Pegawai
Negeri Sipil dalam lingkungannya, baik untuk Setiap atasan
yang menerima melakukan perceraian dan atau untuk beristri lebih dari seorang, wajib memberikan pertimbangan
dan meneruskannya kepada
Pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan terhitung mulai tanggal ia menerima
permintaan izin dimaksud".
Pasal 9
1.
Pejabat yang menerima perniintaan izin untuk beristri
lebih dari seorang sebagaimana
Dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1)wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan
yang dikemukakan dalam surat pemintaan
izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai
Negeri Sipil yang
bersangkutan
2. Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam permintaan izin tersebut kurang meyakinkan,
maka Pejabat harus meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri
Sipil yang mengajukan
permintaan izin atau dari pihak lain
yang dipandang dapat memberikan keterangan
yang meyakinkan.
3. Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil Pegawai
Negeri Sipil yang bersangkutan sendiri
atau bersama-sama dengan isterinya
untuk diberi nasehat.
Pasal 10
(Menurut PP no 10 tahun 1983)
1.
Izin untuk beristeri lebih
dari seorang hanya dapat diberikan oleh Pejabat apabila
memenuhi sekurang-kurangnya salah satu syarat
alternatif dan ketiga
syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.
2.
Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ialah :
a.
isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b.
isteri mendapat cacat badan
atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; atau
c.
isteri tidak dapat
melahirkan keturunan.
3. Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
ialah :
a.
ada persetujuan tertulis
dari isteri.
b.
Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri dan anak
anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak
penghasilan dan
c.
ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri
Sipil yang bersangkutan bahwa ia akan berlaku adil terhadap
isteri-isteri dan anak-anaknya.
4. Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat apabila :
a.
bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai Negeri Sipil
yang bersangkutan;
b.
tidak memenuhi syarat alternatif
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ketiga syarat kumulatif
dalam ayat (3).
c.
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
d.
alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau.
e.
ada kemungkinan mengganggu
pelaksanaan tugas kedinasan.
Pasal 11
1.
Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi
isteri kedua/ketiga/ keempat,
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3), hanya dapat diberikan oleh
Pejabat apabila :
a. ada persetujuan tertulis dari isteri bakal suami.
b. bakal suami mempunyai
penghasilan yang cukup untuk membiayai
lebih dari
seorang isteri dan anak-anaknya yang dibuktikan dengan surat
keterangan pajak penghasilan.
c. ada jaminan tertulis dari
bakal suami bahwa ia akan berlaku adil
terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
2.
Izin bagi Pegawai Negeri Sipil wanita untuk menjadi
isteri kedua/ketiga/ keempat,
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3), tidak diberikan oleh
Pejabat apabila :
a.
bertentangan dengan
ajaran/peraturan agama yang dianut oleh Pegawai Negeri
Sipil wanita yang bersangkutan atau bakal suaminya.
b.
tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
c.
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku; dan/atau
d.
ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.
Pasal 12
Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian atau akan beristeri lebih dari seorang yang berkedudukan sebagai :
1. Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara, Menteri, Jaksa Agung, Pimpinan
Lembaga Pemerintah Non Departemen, Pimpinan Kesekretariatan Lembaga
Tertinggi/Tinggi Negara, Gubernur
Bank Indonesia, Kepala Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri,
dan Gubernur Kepala
Daerah Tingkat I, wajib meminta
izin lebih dahulu dari Presiden.
2. Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah
Tingkat II termasuk
Walikota di Daerah
Khusus Ibukota Jakarta
dan Walikota Administratif, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri Dalam Negeri.
3. Pimpinan Bank milik Negara kecuali Gubernur Bank Indonesia dan pimpinan Badan Usaha milik Negara, wajib meminta izin lebih dahulu dari Menteri yang secara teknis membawahi
Bank milik Negara atau Badan Usaha
milik Negara yang bersangkutan.
4. Pimpinan Bank milik Daerah dan pimpinan Badan Usaha milik Daerah, wajib meminta izin lebih dahulu dari
Kepala Daerah yang bersangkutan.
Sanksi
Adanya Pelanggaran Perkawinan Dan Poligami
(MENURUT UU NO 1 TAHUN 1974)
Pasal 45
(1)
Kecuali apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku, maka:
A. Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3,
10 ayat (3), 40 Peraturan Pemerintah
ini dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima
ratus rupiah). Pasal 3,10 ayat 3 yaitu :
Pasal 3
1.
Setiap orang yang akan
melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan akan
dilangsungkan.
2.
Pemberitahuan tersebut dalam ayat (1) dilakukan
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3.
Pengecualian terhadap jangka
waktu tersebut dalam ayat (2) disebabkan sesuatu alasan yang penting, diberikan
oleh Camat atas nama Bupati Kepala
Daerah.
Pasal 10
Ayat 3 :
Dengan mengindahkan tatacara
perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dankepercayaannya itu,
perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang.
B. Pegawai Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal
6, 7, 8, 9, 10 ayat (1),11, 13, 44
Peraturan Pemerintah ini dihukum
dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp.7.500,-(tujuh ribu lima ratus
rupiah).
(2)
Tindak pidana yang dimaksud
dalam ayat (1) diatas merupakan
pelanggaran.
PP N0 9 Tahun 1975
Pasal 44
Pegawai Pencatat dilarang untuk
melakukan pencatatan perkawinan
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin
Pengadilan seperti yang dimaksud dalam Pasal 43.
Sanksi
Adanya Pelanggaran Perkawinan Dan Poligami
Menurut PP NOMOR 10 TAHUN
1983
(TENTANG IZIN PERKAWINAN DAN PERCERAIAN BAGI PEGAWAI NEGERI SIPIL)
Pasal 16
Pegawai Negeri Sipil yang melanggar ketentuan
Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dijatuhi hukuman disiplin berupa pemberhentian dengan hormat tidak
atas permintaan sendiri sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Dampak poligami
Dampak yang umum terjadi terhadap
istri yang suaminya berpoligami yaitu :
- Dampak
psikologis:
perasaan inferior
istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami
adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis
suaminya.
- Dampak
ekonomi:
Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami
memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam praktiknya
lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan
menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak
memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
- Dampak
hukum:
Seringnya terjadi nikah di bawah
tangan (perkawinan
yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan
Sipil atau Kantor Urusan
Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh
negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan
akan dirugikan karena konsekuensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada,
seperti hak waris
dan sebagainya.
- Dampak
kesehatan:
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan
terhadap penyakit menular seksual (PMS),
bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
- Kekerasan
terhadap perempuan, baik kekerasan fisik,
ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga
poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang
monogami.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari uraian di atas jelaslah bahwa Hukum Perkawinan Indonesia sebenarnya telah berusaha mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami
adalah laki-laki yang benar-benar.
1.
mampu secara ekonomi-finansial
menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuhan (sandang-pangan-papan)
keluarga (istri-istri dan anak-anak), dan
2.
(ii) mampu berlaku adil terhadap
istri-istrinya sehingga istri-istri dan anak-anak dari suami yang berpoligami tidak
disia-siakan.
3.
Pada saat yang sama, Hukum
Perkawinan Indonesia juga
menghargai kedudukan istri sebagai mitra
hidup suami karena suami harus terlebih dahulu mendapatkan
persetujuan istri/para istri apabila
hendak berpoligami.
SARAN
Dari hasil makalah ini penulis mengharapkan agar pemerintah
membuat atau memperbaiki UU sebelumnya yaitu UU no1 tahun 1974, agar masyarakat
takut dan tidak akan mengulanginya dengan adanya sangsi yang tegas, karena UU
ini telah tertinggal jauh oleh perkembangan masyarakat dan banyak masyarakat
dengan leluasanya menyimpang dari ketentuan pasal yang mengatur tentang
poligami dan perkawinan.
Mantap
BalasHapus