BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Pengangkutan sebagai alat fisik merupakan bidang yang sangat
vital dalam kehidupan masyarakat. Dikatakan sangat vital karena keduanya
saling mempengaruhi, dan menentukan dalam kehidupan sehari-hari. Pengangkutan atau sistem transportasi itu sendiri mempunyai
peranan yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar arus barang dan lalulintas orang yang timbul sejalan dengan perkembangan masyarakat dan semakin tingginya mobilitas, sehingga menjadikan pengangkutan itu sendiri sebagai
suatu kebutuhan bagi masyarakat.
Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan sarana
transportasi ini, maka sedikit
banyak akan berpengaruh terhadap perkembangan di bidang
pengangkutan itu sendiri
yang mendorong perkembangan dibidang teknologi,
sarana dan prasarana pengangkutan, ilmu pengetahuan yang mempelajari
tentang pengangkutan, serta hukum pengangkutan, disamping tidak dapat dihindari pula timbulnya berbagai
permasalahan yang diakibatkan dengan adanya pengangkutan itu sendiri.
Transportasi yang semakin
maju dan lancarnya pengangkutan, sudah
pasti akan menunjang pelaksanaan pembangunan yaitu berupa penyebaran kebutuhan pembangunan, pemerataan pembangunan, dan distribusi hasil pembangunan di berbagai
sector ke seluruh
pelosok tanah air, misal sektor industri, perdagangan, pariwisata
dan pendidikan.
B. Rumusan
masalah
Ø Mengungkap
bagimana Realita Peradilan Adat
di Indonesia. . . ?
Ø Apa
Perbedaan Sistem Hukum Adat Dengan Sistem Hukum Barat.
. . ?
Ø Wewenang
dalam Peradilan Adat. . . ?
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Pengertian pengangkutan
secara umum.
Menurut arti kata, angkut berarti mengangkat
dan membawa, memuat atau mengirimkan. Pengangkutan artinya
usaha membawa, mengantar atau memindahkan orang atau barang dari suatu tempat
ke tempat yang lain[1].
Jadi, dalam pengertian pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari suatu tempat
ke tempat lain. Pengangkutan dapat diartikan
sebagai pemindahan barang dan
manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.
Dalam hal ini terkait unsure-unsur pengangkutan sebagai berikut[2]
:
1.
Ada sesuatu yang diangkut.
2.
tersedianya kendaraan
sebagai alat angkutan.
3.
ada tempat yang dapat
dilalui alay angkutan.
Pengangkutan dapat diartikan sebagai
pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat
tujuan. berisikan perpindahan tempat
baik mengenai benda-benda maupun Pengangkutan dapat diartikan
sebagai pemindahan barang dan
manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.
Menurut
pendapat R. Soekardono, SH, pengangkutan pada pokoknya berisikan perpindahan tempat baik mengenai
benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta
efisiensi.Adapun proses dari pengangkutan itu merupaka gerakan
dari tempat asal dari mana
kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan dimana angkutan itu diakhiri.
A.2.Pengertian Barang
Pengertian barang menurut Pasal 1 (c) The Hague Rules yaitu barang
adalah segala jenis barang dan barang-barang dagangang
kecuali binatang hidup dan muatan yang menurut perjanjian pengangkut ditetapkan akan diangkut diatas dek dan memang dimuat
diatas dek.
Sedangkan menurut pasal 1 The Humberg Rules
yaitu barang meliputi
juga binatang-binatang hidup dan barang-barang yang dalam container/pallet. Tentang binatang, pengangkutannya jugadilakukan dengan kapal tetapi
pengangkut menyediakan ruangan dan air minum untuk hewan.Terhadap
keselamatannya sampai dengan pembongkaran di pelabuhan tujuan,
oleh pengangkut dinyatakan bukan beban carrier melainkan Shipper[3].
Barang sebagai
obyek pengangkutan barang
di laut adalah segala sesuatu benda yang akan diangkut oleh kapal dari suatu tempat penerimaan
sampai ke tempat tujuan sepanjang
benda-benda itu oleh peraturan hukum yang ada diperbolehkan dimasukkan atau dikeluarkan dari pelabuhan secara legal.
Pengertian
Hukum Angkutan
Hokum angkutan Adalah merupakan
kedudukan yang sama antara pengangkut dan pengirim disebrangi antara
pengangkutan dan pengirim disebrangi dengan perjanjian-perjanjian kemudian
perjanjian itu berakhir/habis pada waktu yang tidak pasti. Contoh : apabila
pengangkutan sudah selesai maka perjanjian itu berakhir dengan sendirinya.
Menurut H. M. M PURWO SUCIPTO SH Hukum angkutan
adalah orang yang mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan
pengangkutan/barang ke tempat tujuan dengan selamat Sedangakn Pengirim
adalah orang yang mengikatkan dirinya untuk membayar upah angkutan.
Jenis- Jenis
Pengangkutan
Dalam
Hukum Angkutan di atur tentang jenis-jenis pengangkutan diantaranya adalah :
1. Pengangkutan Darat
Yang diatur pada KUHP Buku I Bab V bagian I, II pasal 96-98 dan dasar hukum
yang lain dapat kita lihat pada BW / KUHP Perdata.
Buku III (Overen Comet) Dalam hal pengangkutan darat sekalian diatur tentang
pengangkatan barang, pengangkutan lain yang diatur :
a. Pada
Stb 1927/262 tentang pengangkatan kereta pai
b. UU No 3 / 1965 (lembaran negara 1965 No 25)
tentang lalu lintas jalan raya)
c. Stb
1936 No 451 berdasarkan PP No 28 / 1951 (LN 1951 No 2 ) dan PP No 2/1964/LN
1964 no 5 tentang peraturan lalu lintas jalan raya.
d. Peraturan
tentang pos dan telekomunikasi
2. Pengangkutan laut
Dalam pengangkutan laut diatur pada :
a. KUHP
Buku II Bab V, tentang perjanjian antara kapal
b. KUHP
Buku II Bab V A, tentang pengangkatan barang
c. KUHP
Buku II Bab V B, tentang pengangkutan orang
d. Peraturan-peraturan
Khusus lainnya.
3. Pengangkutan laut
Dalam pengangkutan laut diatur pada :
e. KUHP
Buku II Bab V, tentang perjanjian antara kapal
f. KUHP
Buku II Bab V A, tentang pengangkatan barang
g. KUHP
Buku II Bab V B, tentang pengangkutan orang
h. Peraturan-peraturan
Khusus lainnya.
4. Pengangkutan Perairan Pedalaman
Diatur
pada ;
a. Buku
I Bab V KUHP bagian 2 dan 3 pasal 90 – 98 misalnya pengangkutan di Sungai dan
di selat, danau dsb
Dalam
pengangkutan ada beberapa unsur yang harus diketahui :
1. Ada
pengangkut / orangnya (person)
2. Adanya
barang-barang yang menjadi objek angkutana
3. Adanya
alat/sarana angkutan/isntrumen
4. Adanya
di pengirim.
5. adanya
di penerima.
Dalam
hukum Angkutan dikenal perjanjian timbal balik dimana di pengirim melakukan
perjanjian dengan di penerima dengan kewajiban membayar ongkos angkut.
Perjanjian timbal balik, baiknya dibuat dengan Akta Autentik
SIFAT-SIFAT
PERJANJIAN ANGKUTAN
Dalam hokum angkutan adapun sifat-sifat perjanjian
antara lain[4]
:
·
Bersifat berkala
Perjanjian
antara para pihak akan putus apabila di perjanjian jangka waktu habis.
·
Bersifat campuran
Dalam
perjanjian angkutan dimana pengangkut barang tersebut apabila terjadi
penyimpangan terhadap suatu barang maka dibuat pula perjanjian penyimpangan.
·
Bersifat konsenvalitas
Perjanjian
yang dilaksanakan kepada kesepakatan para pihak pada dasarnya kesepakatan para
pihak telah mengatur perjanjian tetapi masih diperlukan alat bukti, dalam hal
ini kita lihat seperti perjanjian Charter Kapal sebagaimana diatur dalam
pasal 459 KUHP.Dengan perjanjian tersebut diatas, maka lahirlah suatu dokumen
yang disebut konosumen → surat biasaYang
dimaksud dengan konsumen suatu surat tanda terima barang yang harus
diberikan pengangkut pada pengirim sebagaimana yang diatur pada pasal 504 dan
506 KUHP
Dalam
praktek jika, terjadi kerusakan atas barang dan mobil angkutan yang
menjadi tanggung jawab adalah si pengangkut dan hal ini tidak adil. Dalam teori
diatur sedemikian rupa dalam Hukum Angkutan. Dalam barang angkutan barang di
darat ada namanya dokumen yang disebut dengan Surat Muatan/Vracht bref yang
diatur dalam pasal 90 KUHP. Namun, dokumen ini bukanlah syarat mutlak
perjanjian muatan barang. Namun, tanpa dokumen ini perjanjian dianggap ada,
sehingga si pengirim tidak punya hak untuk menahan barang/refensi jika Penerima
barang tentang pembiayaan barang angkutan.
Dalam
hal pelaksanaan perjanjian angkutan seringkali dilaksanakan oleh orang lain dalam
hal ini dilaksanakan oleh :
1. Ekspeditur
Seorang
perantara yang bersedia untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi seorang
pengirim Ekspeditur diatur dalam KUHP Bab V Bagian II Pasal 86 – 90 KUHP. Jadi
ekspeditur menurut UU hanyalah sekedar perantara yang bersedia mencari
pengangkut untuk si pengirim tetapi tidak mengangkut barang yang dipersiapkan
kepadanya sendiri. Oleh karena itu, perjanjian yang terjadi antara ekspeditur
dengan si pengirim disebut dengan perjanjian ekspedisi. Sedangkan
perjanjian ekspeditur atas nama pengirim dengan pengangkut disebut perjanjian
pengangkutan. Kadaluarsa mengenai angkutan oleh ekspeditur, diatur
dalam pasal 90 KUHP. Daluarsa di Indonesia hanya berlaku 1 tahun, sedangkan di
luar negeri daluarsa itu selama 2 tahun.
2. Bagian
kapal
3. Perusahaan
lain.
SIFAT
PERJANJIAN EKSPEDISI
·
Bersifat timbal balik
Kadaluarsa
di atur pada buku II BW artinya
diantara pengirim dan ekspiditur mengikatkan dirinya untuk mencari pengangkut
yang baik untuk si pengirim, sedangkan si pengirim mengikat dirinya untuk
membayar komisi pada ekspiditur
·
Bersifat rangkap
·
Bersifat berkala, Diatur dalam pasal
1601 – 1702 BW
Perjanjian
antara para pihak akan putus apabila diperjanjian jangka habis
·
Bersifat pemberian udara
Jika
ekspeditur membuat atas namanya sendiri, maka perjanjian ekspedisi ini
mempunyai hubungan perjanjian komisi, dan jika kemungkinan ekspeditur menyimpan
barang yang ada padanya, maka perjanjian ekspeditur ditambah dengan perjanjian penyimpangan. Pengangkutan
yang dimaksud pengangkutan di sini adalah mengangkat/memindahkan suatu barang
dari suatu tempat ke tempat yang lain
Tanggung Jawab
Ekspeditur
1.
Bahwa ekspeditur harus bertanggung jawab
dalam pengiriman barang. Barang tersebut harus dalam keadaan rapi dan barang
harus sampai kepada alamr sebagaimana yang diperjanjikan
2.
Ekspeditur bertanggung jawab/menghindari
gangguan terhadap barang yang diangkut
3.
Tanggung jawab ekspeditur mengangkut
lebih lanjut barang yang akan diangkutnya
Pasal
86 dan 87 adalah dasar hukum yang mengatur bagaimana tanggung
jawab ekspeditur dan mencarikan pengangkat untuk mengirim suatu barang. Namun,
daam praktiknya ekspeditur banyak yang jadi pengangkut dan ini mengalami
kesulitan dalam pelaksanaan UU.
Batas-batas Tanggung
Jawab Ekspeditur
Tanggung
jawab ekspeditur berakhir jika barang telah sampai pada si penerima ( pasal
88 KUHP ) jika terdapat kerugian akibat kesalahan ekspeditur yang tidak
dapat dibuktikan maka kerugian tersebut tidak dapat dibebankan kepada
ekspeditur itu sendiri.
Dalam
praktiknya ada dikenal ekspeditur tidak tetap maksudnya ia bertindak sebagai
ekspeditur hanya kadangkala yang diatur pada pasal 86 s/d 90 KUHP.
Hubungan Antara
Penerima dengan Perjanjian Ekspedisi
Jika
penerima telah menerima suatu barang muatan atau menolak karena rusak atau
kurang dari yang ditentukan. Maka apabila terjadi masalah ini antara si
penerima dan si pengangkut akan berhadapan dengan perjanjian-perjanjian
ekspedisi. Sejauh mana dapat dibuktikan dengan dokumen-dokumen yang ada
Pengirim
adalah sebagai pemberi kuasa dan pemberi perintah pada ekspeditur untuk mencari
pengangkut terhadap barang pengirim umumnya penerima bukan pemberi tetapi pihak
pemberi.
Pasal
1357 BW menyebutkan di penerima berhak memberikan
honorarium kepada atau mengganti uang muka yang telah dikeluarkan
oleh ekspeditur dan ekspeditur mempunyai hak retensi (Pasal 1821 BW → hak
menahan barang)
TANGGUNG JAWAB
PENGANGKUT
Tanggung jawab pengankut adalah Melakukan
pengangkutan dengan baik, mulai barang yang dimuat sampai ketempat penerima.
Jika tidak selamat maka si pengangkut bertangung jawab terhadap barang yang
rusak tersebut.
Dengan
demikian pengangkutan berarti dapat dituntut ganti rugi dari rusaknya barang
kecuali 4 hal yang harus diperhatikan sebagaimana pasal 91 KUHP
1.
Keadaan memaksa Overmach
2.
Cacat barang itu sendiri
3.
Kesalahan si pengirim
4.
Terlambat barang sampai tujuan karena rusak
Sebaliknya Pengangkut Dapat Mendapat
Tuntutan Dalam Pasal
dimana pengangkut mempunyai
beberapa alasan :
1. Tidak dapat dilaksanakannya
2. Tidak sempurna
3. Tidak tepat waktu dilaksanakannya
perikatan itu disebabkan karena suatu peristiwa yang tidak dapat diduga lebih
dahulu dan tidak dapat dipertanggung jawabkan dan tida ada itikat buruk dalam
hal ini dapat diberikan dalam pengangkut
Menurut pasal 517 B.W bahwa di
pengangkut menawarkan diri pada umumnya bagi orang yang ingin memakai jalannya
tetapi pengangkut berhak menolak jika :
·
Barang yang berbahaya
Ex : ganja, bom, dll
·
Barang larangan
Ex : ganja, heroin dll.
Identitas Barang Muatan
Dalam
pengangkutan laut, identitas
barang muatan dicantumkan suatu surat berharga yang disebut konosemen atau bill of lading.
Konosemen atau bill of lading inilah yang disebut dengan surat muatan[5].
Dalam konosemen memuat identitas kepada siapa barang-barang itu harus diserahkan. Konosemen
dapat diterbitkan atas pengganti atau atas tunjuk. Selain itu konosemen juga harus memuat
identitas barang yang akan diangkut itu dan pencatatan itu seberapa mungkin
hendaknya diperinci guna mencegah
timbulnya kemungkinan perselisihan mengenai identitas barang-barang angkutan
itu pada saat penyerahannya. Biasanya di dalam konosemen atau bill of lading diterangkan tentang keadaan waktu barang
diterima untuk diangkut
dengan menentukan klausula receive for shipment in apparent goodorder
and condition, dan dengan
adanya keterangan itu menjadi bukti tentang keadaan barang[6].
Akibat Yang Timbul Dari Perjanjian Pengangkutan Laut
Dalam pengangkutan laut timbul suatu perjanjian timbal balik
antara pengangkut dengan
pengirim. Dari adanya
perjanjian pengangkutan laut tersebut
menimbulkan hak dan kewajiban bagi pengangkut dan pengirim. Pengangkut mempunyai kewajiban
untuk menyelenggarakan
pengangkutan barang dan atau orang dari satu tempat ke ketempat tujuan
tertentu dengan selamat,
sedangkan pengirim mempunyai
kewajiban untuk membayar angkutan. Antara pengangkut dan pengirim sama-sama saling mempunyai hak untuk melakukan penuntutan
apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi[7].
Pengertian
Asuransi
Asuransi atau pertanggungan yang merpakan
terjemahan dari insurance atau verzekering atau assurantie. Definisi asuransi
yang diberikan undang-undang dapat dilihat dalam pasal 246 KUHD yang berbunyi :
“Asuransi atau pertanggungan adalah suau
perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung dengan menerima uang premi untuk memberikan penggantian kepadanya
karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang
mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tertentu”
Sedangkan definisi asuransi yang terdapat dalam
pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yaitu :
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian
antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri
kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung kerena kerugian, kerusakan atau kehilangan
keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang
mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak
pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal
atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”
B. Macam-Macam Asuransi Pengangkutan Udara
Beberapa pihak yang terlibat didalam kegiatan
industri penerbangan dapat menutupi asuransi sesuai dengan resiko yang
dihadapinya masing-masing, diantaranya[8] :
- Penutupan
asuransi yang dilakukan oleh operatuor, pengangkut atau pemilik udara.
Asuransi mengenai penutupan yang dilakukan oleh
operatuor, pengangkut atau pemilik udara ini berupa :
- Asuransi rangka
pesawat
- Asuransi
tanggungjawab pengangkut kepada enumpang dan bagasi penumpang
- Asuransi
tanggungjawab terhadap pihak ketigaasuransi awak pesawat
- Asuransi pembajakan
pesawat udara
- Asuransi
tanggungjawab pengelola pelabuhan udara
- Asuransi
tanggungjawab pengusaha pabrik pesawat dan bengkel reparasinya
BAB
III
PEMBAHASAAN
Kasus Posisi
Pada tanggal 16 Januari 2002 kemarin sebuah
maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300 dengan nomor
penerbangan GA-421 jatuh melintang di anak sungai Bengawan, kabupaten Klaten.
Dalam kecelakaan tersebut seorang wanita muda yaitu prmaugari bernama Santi
Anggraeni yang telah bekerja selama tujuh tahun tewas setelah terhempas keluar
dari pesawat dan hanyut oleh arus sungai yang sedang meluap, sementara pilot
Kapten Abdul Rozak bersama enam kru lainnya serta ke 51 penumpangnya tiga
diantaranya balita selamat dan hanya mengalami luka memar dan patah tulang.
A.
Tanggungjawab
Pihak Perasuransian yang ditunjuk Perusahaan Penerbangan terhadap Penumpang.
Pengangkutan yang ada di Indonesia terdiri dari
pengangkutan darat, laut dan udara. Pengangkutan udara dalam Ordonansi Pengangkutan
Udara (OPU) dipergunakan suatu istilah pengangkut sebagai salah satu pihak yang
mengadakan perjanjian pengfangkutan. Pengangkutan udara yang diselenggarakan
oleh pihak PT. Garuda merupakan keterpadauan kegiatan transportasi yang
meliputi pengangkutan penumpang, barang dan bagasi.
Mengenai tanggungjawab perusahaan pengangkutan
udara terhadap kerugian yang timbul karena kecelakaan yang menimpa diri
penumpang seperti dalam kasus posisi diatas, Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU)
Staatblad 1939-100 menentukan dalam pasal 24 ayat (1), yaitu :
“Pengangkut bertanggungjawab untuk keruggian
sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada tubuh yang diderita
oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya
dengan pengangkutan udara dan terjadi diatas pesawat terbang atau selama
melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari
pesawat”.
Dari pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut
udara dianggap selalu bertanggungjawab, asal dipenuhi syarat-syarat yang
ditentukan dalam pasal tersebut, yaitu :
- Adanya
kecelakaan
-
Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara
-
Kecelakaan ini harus terjadi diatas pesawat terbang atau selama melakukan suatu
tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat.
Prinsip-prinsip tanggungjawab khususnya untuk
penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan Konvensi Warsawa dan
dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad 1939-100, diantaranya yaitu
:
1. Prinsip Persumption of Liability
Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu
bertanggungjawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau
bagasi dan pengangkut udara tidak bertanggungjawab hanya bila ia dapat
membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu
Jadi para pihak yang dirugikan tidak usah
membuktikan adanya kesalahan dari pihak pengangkut. Prinsip in dapat
disimpulkan dari pasal 29 ayat (1) Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU), yang
berbunyi “Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian bila ia membuktikan
bahwa ia dan semua orang yang dipekerjakan itu, telah mengambil semua tindakan
yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tidak mungkin bagi
mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu”
2. Prinsip Limitation of Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu
bertanggungjawab, namun bertanggungjawab itu terbatas sampai jumlah tertentu
sesuai dengan ketentuanyang telah diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara
(OPU) maupun Konvensi Warsawa.
Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara
dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) dimaksudkan pembatasan dalam jumlah
ganti rugi yang akan dibayarkan. Mengenai hal ini dalam Ordonansi Pengangkutan
Udara diatur pada pasal 30 ayat (1), yang berbunyi “Pada pengangkutan
penumpang, tanggung jawab pengangkut terhadap tiap-tiap penumpang atau terhadap
keluarganya yang disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) bersama-sama dibatasi
sampai jumlah dua belas ribu lima ratus (Rp. 12.500) jika ganti kerugian
ditetapkan sebagai bunga maka jumlah uang pokok yang dibungakan tidak
boleh melebihi juml;ah diatas”
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1992 tentang Penerbangan, pasal yang mengatur tanggungjawab diatur dalam pasal
43 ayat (1), yang berbunyi “Perusahaan pengangkutan udara yang melakukan
kegiatan angkutan bertanggungjawab atas :
- Kematian atau
lukanya penumpang yang diangkut
- Musnah, hilang
atau rusaknya barang yang diangkut
- Keterlambatan
angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terbukti hal
tersebut merupakan kesalahan pengangkut”
Oleh karena itu, menurut hemat penulis pada
kasus kecelakaan pesawat tersebut maka perusahaan penerbangan harus
bertanggungjawab terhadap korban kecelakaan pesawat udara seperti apa yang
disebutkan dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang
Penerbangan melalui perusahaan asuransi yang ditunjuk pihak PT. Garuda
Indonesia, dimana para korban dapat mengajukan klaim dengan cara menyerahkan
data-data tentang kerugian yang dideritanya. Setelah menerima pengajuan dari
tertanggung, pihak asuransi akan meneliti kerugian (adjuster/assessor) untuk menyelidiki kerugian yang selanjutnya dilaporkan
kepada penanggung, apabila tidak ada kebohongan atau tipu muslihat dalam
kerugian itu, maka pihak asuransi dapat mengganti kerugian sesuai dengan apa
yang diperjanjikannya.
B.
Proses
Ganti Rugi Yang Dilakukan Penumpang Terhadap Perusahaan Penerbangan.
Pemberian ganti rugi yang dilakukan PT. Garuda
Indonesia pada kasus kecelakaan pesawan udara Boeing 737-300 di Sungai Bengawan
Solo kepada penumpang akibat kecelakaan pesawat udara diberikan melalui proses
sebagai berikut[9]
:
- Bila telah ada
kesepakatan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia
kepada korban kecelakaan pesawat udara tanpa harus melalui pengadilan, maka
proses pemberian ganti rugi adalah :
- Mengisi
formulir yang telah disediakan oleh PT. Garuda Indonesia yang memuat
pengisian data-data identitas pihak yang berhak atas pemberian ganti rugi
itu.
- Mengajukan
segala alat bukti :
- Tiket
atau bukti pembayaran tiket.
- Surat
keterangan dokter dan biaya-biaya pengobatan perawatan, bila penumpang akibat
kecelakaan pesawat udara tersebut dalam perawatan.
- Akta
perkawinan dari suami atau isteri penumpang yang tewas akibat kecelakaan
pesawat udara.
- Akta
kenal lahir (anak) dari penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara
itu, disertai penetapan fatwa waris dari pengadilan agama yang berisi penetapan
ahli waris dan besarnya bagian-bagian.
- Kartu
keluarga dari penumpang yang tewas tersebut bagi semua ahli waris yang
ditanggungnya.
- Pihak PT.
Garuda memeriksa, memproses dan meneliti data orang yang terikat
perjanjian pengangkutan udara dalam pesawat yang tertimpa kecelakaan,
benar tidaknya luka-luka atau cacat tubuh yang diderita penumpang tersebut
akibat kecelakaan pesawat udara itu dan benar atau tidaknya orang tersebut
adalah ahli waris yang ditanggung penumpang yang tewas akibat kecelakaan
pesawat udara itu.
- Bila semua
bukti yang diberikan benar, maka PT. Garuda menetapkan ganti rugi yang
akan diberikan, tetapi bila semua bukti yang diberikan tidak sesuai atau
tidak benar maka PT. Garuda berhak untuk tidak bertanggung jawab atau
berhak untuk tidak memberikan ganti rugi.
- Bila ganti
rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu disetujui oleh kedua beleh pihak, maka
PT. Garuda siap untuk membayar sesuai dengan kesepakatan bersama mengenai
cara pembayaran dan jangka waktunya, tetapi bila ganti rugi yang
ditetapkan PT. Garuda itu tidak disetujui oleh pihak penumpang maka
penumpang dapat mengajukan gugatan di pengadilan atau bila alat bukti yang
diajukan dianggap tidak benar oleh pihak PT. Garuda maka itupun dapat
diajukan gugatan ke pengadilan.
- Bila tidak ada
kesepakatan antara pihak korban kecelakaan pesawat udara dengan pihak PT.
Garuda mengenai besarnya ganti rugi sehingga harus melalui pengadilan,
maka proses pemberian ganti rugi adalah :
- Pihak korban
kecelakaan pesawat udara yang merasa tidak puas atau dirugikan dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.
- Penggugat
harus memenuhi persyaratan untuk mengajukan klaim ganti rugi yang telah
diterbitkan oleh pengadilan (telah dibicarakan pada “Prosedur pengajuan
claim ganti rugi”).
- Setelah ada
putusan pengadilan, maka putusan tersebut diserahkan kepada kedua belah
pihak untuk dilaksanakan, dalam putusan tersebut disebutkan besarnya ganti
rugi yang harus diberikan PT. Garuda, cara pembayarannya dan jangka waktu
pembayarannya.
- Pihak korban
kecelakaan tersebut mengisi kembali formulir yang disediakan PT. Garuda
mengenai data atau identitasnya.
- Pihak PT.
Garuda memasukkan dan memproses formulir tersebut beserta putusan
pengadilan.
- Kemudian pihak
PT. Garuda slap untuk membayar ganti rugi sesuai dengan putusan pengadilan
tersebut.
Pembayaran ganti rugi yang diberikan pihak PT.
Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah dan langsung dibayarkan kepada orang
yang berhak, atau orang yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi kepada ahli
waris ialah PT. Garuda rnembayar langsung hanya kepada salah seorang wakil
diantara mereka yang kemudian pembagian selanjutnya mereka atur sendiri menurut
fatwa waris dari pengadilan.
C.
Pengangkutan udara dalam hubungannya
dengan hukum udara
Pertanggungjawaban pengangkutan
udara menjadi hal yang sangat sensitif karena dalam pengangkutan udara
kemungkinan berhubungan dengan negara-negara lain lebih besar.Ini berarti
kemungkinan persinggungan hukum antara dua negara atau lebih menjadi lebih
besar pula.Bukan hal yang mudah mengkoordinasikan dua kepentingan
yang berasal dari hukum yang berbeda tersebut sehingga perlu sebuah hukum
ataupun aturan-aturan tertentu yang mampu menaungi berbagai kepentingan
tersebut.Berdasar dari pemikiran itulah,kemudian pembahasan dalam makalah ini
diawali dengan pengenalan terhadap hukum udara internasional yang mempunyai
pengaruh besar dalam pertanggungjawaban pengangkutan udara[10].
Hukum udara adalah keseluruhan
ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur ruang udara dan penggunaannya untuk
keperluan penerbangan.Hal yang kemudian menjadi alasan penulis
menyangkutpautkan hukum udara dalam pengangkutan adalah karena sifat
pengangkutan udara sendiri yang bersifat internasional.
Hukum udara bersumber dari
perjanjian-perjanjian internasional ,undang-undang dan peraturan nasional serta
yurisprudensi.
Berikut ini adalah beberapa
perjanjian-perjanjian internasional yang menjadi sumber hukum udara
internasional :
·
Perjanjian warsawa tahun 1929 (
Convention for the unification of certain rules relating to internasional
carriage by air )
Perjanjian ini mengatur mengenai
dokumen angkutan dan tanggungjawab pengangkutan udara nternasional.Perjanjian
ini menjadi penting karena ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya baik dengan
ataupun tanpa perubahan di beberapa negara diberlakukan juga bagi pengangkutan
udara domestik. Misalnya di indonesia dan Belanda.
·
Perjanjian Roma tahun 1952
(Conventio of damage cause by foreight aircraft to thirt parties on the
surface)
Perjanjian ini mengatur
mengenai pertanggungjawaban dan asuransi wajib
BAB IV
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari
semua uraian diatas tersebut maka penulis menyinpulkan beberapa hal yaitu :
Menurut
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pasal yang mengatur
tanggungjawab diatur dalam pasal 43 ayat (1), yang berbunyi “Perusahaan
pengangkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan bertanggungjawab atas :
- Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut
- Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut.
- Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang
diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut”
Oleh
karena itu maka perusahaan penerbangan harus bertanggungjawab terhadap korban
kecelakaan pesawat udara melalui perusahaan asuransi yang ditunjuk pihak PT.
Garuda Indonesia, dimana para korban dapat mengajukan klaim dengan cara
menyerahkan data-data tentang kerugian yang dideritanya.
Pembayaran
ganti rugi yang diberikan pihak PT. Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah
dan langsung dibayarkan kepada orang yang berhak, atau orang yang
bersangkutan. Pembayaran ganti rugi kepada ahli waris ialah PT. Garuda
rnembayar langsung hanya kepada salah seorang wakil diantara mereka yang
kemudian pembagian selanjutnya mereka atur sendiri menurut fatwa waris dari
pengadilan.
SARAN
Mengingat besarnya akibat dari
kecelakaan pesawat terbang, maka perlu ditentukan besarnya gantirugi ditingkat
internasional secara detail dan berlaku secara universal. Memang sulit membuat
hal seperti ini, namun semua akibat harus dikorelasikan atau diperhitungkan
dengan masa depan korban kecelakaan tersebut dan keluargany serta hal-hal yang
secara rasional akan didapat atau diperoleh yang bersangkutan selama masa
produktif oleh korban.
Negara seharusnya sebagai
auditor bagi penyelenggara penerbangan di wilayah hukumnya, perlu ditentukan
setiap besaran yang timbul akibat kecelakaan. Sama hal nya dengan memiliki
asuransi bagi seorang individu untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan bagi
diri sendiri dan keluarga. Negara patut menyampaikan kepada masyarakat dengan
mengumumkannya pada media skala nasional atau di board pengumuman dimana
pesawat tersebut berangkat. Hal ini perlu sebagai konsekuensi bagi penumpang
yang tetap memilih angkutan udara dengan alasan waktu tempuh yang sangat
singkat.
[1]
Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ketujuh
edisi II, Balai Pustaka Jakarta, 1996, Halaman 45.
[2]
Ridwan
Khairandy, Machsun Tabroni, Ery Arifuddin dan Djohari Santoso, halaman 195.
[3]
Lawalatta,
Konosemen Dan Masalah Tanggung
Jawab Pengangkut, Kumpulan Aspek-Aspek
Problem Maritim Niaga, Aksara Baru, Jakarta, 1982, halaman 8
[4] www.sumberilmuhukumangkutan.co.id
[5]
Wiwoho
Soedjono, Hukum Pengangkutan Laut di Indonesia dan perkembangannya, Liberty,
Yogyakarta, 1987, halaman
89.
[6]H.M.N. Purwosutjipto, SH. . Pengertian Pokok Hukum
Dagang Indonesia, Jilid
5,
Djambatan, 1985,
halaman 2.
[8] www.Lawcommunity.co.id
[9] Ibid, www.Lawcommunity.co.id
[10]
www.Materiku.co.id