Jumat, 16 Desember 2011

hak asasi perempuan


BAB I
PENDAHULUAN



A.   Latar Belakang
Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa, hak asasi manusia (HAM). Pemberitaan yang menyangkut hak anak tidak segencar sebagaimana hak-hak orang dewasa (HAM) atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan. Perlindungan hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar yang dilakukan negara, orang dewasa atau bahkan orang tuanya sendiri, tidak begitu menaruh perhatian akan kepentingan masa depan anak. Padahal anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan, aset keluarga, agama, bangsa dan negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru mengalami perlakuan yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap anak, dijadikan alat pemuas seks, pekerja anak, diterlantarkan, menjadi anak jalanan dan korban perang/konflik bersenjata.
Menurut data yang dikeluarkan UNICEF tahun 1995, diketahui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hampir 2 juta anak-anak tewas, dan 4-5 juta anak-anak cacat hidup akibat perang. Di beberapa negara, seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia, Afghanistan dan Guatemala, anak-anak dijadikan peserta tempur (combatan) dengan dikenakan wajib militer. Semua terjadi akibat kedahsyatan mesin perang yang diproduksi negara-negara industri, yang pada akhirnya membawa penderitaan bukan hanya dalam jangka pendek, tetapi juga berakibat pada jangka panjang yang menyangkut masa depan pembangunan bangsa dan negara.Demikian juga di negara-negara yang dalam keadaan aman, yang tidak mengalami konflik bersenjata, telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat pembangunan ekonomi yang dilakukan, seperti pekerja anak (child labor), anak jalanan (street children), pekerja seks anak (child prostitution), penculikan dan perdagangan anak (child trafficking), kekerasan anak (violation) dan penyiksaan (turtore) terhadap anak.2
Di Indonesia pelanggaran hak-hak anak baik yang tampak mata maupun tidak tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa diberitakan di media masa, seperti mempekerjakan anak baik di sektor formal, maupun informal, eksploitasi hak-hak anak. Upaya mendorong prestasi yang terlampau memaksakan kehendak pada anak secara berlebihan, atau untuk mengikuti berbagai kegiatan belajar dengan porsi yang melampaui batas kewajaran agar mencapai prestasi seperti yang diinginkan orang tua. Termasuk juga meminta anak menuruti kehendak pihak tertentu (produser) untuk menjadi penyayi atau bintang cilik, dengan kegiatan dan jadwal yang padat, sehingga anak kehilangan dunia anak-anaknya.
Pada sisi lain sering dijumpai perilaku anak yang diketegorikan sebagai anak nakal atau melakukan pelanggaran hukum, tapi tidak mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya dalam proses hukum. Hak-hak yang mereka miliki diabaikan begitu saja dengan perlakukan yang tidak manusiawi oleh pihak tertentu, dan kadang kala dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mencari keuntungan diri sendiri, tanpa peduli bahwa perbuatannya telah melanggar hak-hak anak
BAB II
TELAAH PUSTAKA



Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaannya manusia sebagai mahluk tuhan dan merupakan anugrah yang wajib ditaati,dijungjung tinggi dan dilindungi oleh negara,hokum,pemerintah dan setiap orang. Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hak-hak anak diatur sebagai berikut :
·                  Konvensi Deklarasi universal ham yaitu dalam pasal 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11.
·                  UUD 1945 Pasal 27, 29, 31 (1), 34.
·                  UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
·                  UU no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dalam pasal
Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) th 19893 , telah diratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 th 1990. Dengan demikian Konvensi PBB tentang Hak Anak tersebut telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat seluruh warga negara Indonesia.Konvensi Hak-Hak Anak merupakan instrumen yang berisi rumusan prinsip-prinsip universal dan ketentuan norma hokum mengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil dan politik, ha-hak ekonomi, sosial dan budaya. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikate-gorikan sebagai berikut, pertama penegasan hak-hak anak, kedua perlindungan anak oleh negara, ketiga peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin peng-hormatan terhadap hak-hak anak.Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi Hak Anak dapat dikelompokan menjadi:
1. Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights)
2. Hak terhadap perlindungan (protection rights)
3. Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights)
4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)




BAB III
FAKTA PELANGGARAN HAM


Temuan Penyerangan terhadap Komunitas Ahmadiyah di Cianjur, Jawa Barat
Di Cianjur pengrusakan terhadap mesjid dan rumah Komunitas Ahmadiyah terjadi sejak 3 September 2005. Pengrusakan terjadi terhadap rumah salah seorang anggota Komunitas Ahmadiyah di Kampung Ciherang, Desa Sukadana, Kecamatan Sukanagara yang dilakukan oleh massa kurang lebih berjumlah 50 orang. Pengrusakan terjadi karena pemilik rumah dianggap menantang ahli sunnah wal Komunitas. Merespon peristiwa tersebut, MUSPIKA Kecamatan Campaka melakukan pertemuan dengan Komunitas Ahmadiyah, Ketua MUI Campaka, Kades Sukadana, Polres Cianjur dan ahli sunnah wal jamaah untuk membahas masalah tersebut pada 4 September 2005.
Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan agar Komunitas Ahmadiyah memenuhi tuntutan ahli sunnah wal jamaah antara lain untuk mengikuti fatwa MUI, tidak mengulang perbuatan yang dapat memancing emosi ahli sunnah wal jamaah dan tidak boleh menjadi pengurus pamong Desa. Selanjutnya, pada 17 September 2005 dilaksanakan tabligh akbar dihadiri sekiar 1000 orang di Desa Sukadana, Kecamatan Campaka, Kabupaten Cianjur. Pada saat pelaksanaan lampu sempat padam. Keesokan harinya tersebar isu bahwa listrik padam disengaja oleh Komunitas Ahmadiyah. Pada 19 September 2005, massa yang berjumlah kurang lebih 200 orang melakukan pengrusakan terhadap mesjid, rumah dan harta benda Komunitas ahmadiyah di Desa Ciparay, Kecamatan Cibeber dan melanjutkan pengrusakan ke Kampung Neglasari, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka dan Kampung Panyairan, Desa Campaka, Kecamatan Campaka. Merespon penyerangan tersebut Pemkab. Cianjur, Jawa Barat pada 17 Oktober 2005, keluar SKB Nomor 21 Tahun 2005 tentang larangan melakukan aktivitas penyebaran ajaran/faham Ahmadiyah di Kabupaten Cianjur yang ditandatangani Bupati Cianjur, Kepala Kejaksaaan Negeri Cianjur dan Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten Cinajur.
SKB dikeluarkan dengan menimbang semakin besarnya tuntutan masyarakat untuk dibekukannya segala betuk kegiatan Komunitas Ahmadiyah serta untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat Cianjur dan memperhatikan antara lain:
1. Fatwa MUI Nomor: 11/MUNAS VII/MUI/15/2005.
2. Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Nomor D/BA.01/3099/84 tanggal 20 September 1984 perihal Aliran Ahmadiyah dan
3. Surat Lembaga Pengkajian dan Penerapan Syariah Islam Kabupaten Cianjur Nomor 03/LP/II/SY-I-VII/SEK/2005 tanggal 2 Agustus 2005 perihal Kajian tentang Sikap umat Islam terhadap Komunitas Ahmadiyah pemurtadan dan pemberantasan munkarot dan dukungan pernyataan sikap bersama yang dibuat 41 ormas/LSM/LPD/LSK Islam di Kabupaten Cianjur pada 5 September 2005. SKB ini antara lain memutuskan:
·      Melarang aktivitas penyebaran faham/ajaran Ahmadiyah dalam bentuk apapun.
·      Melarang sikap anarkis dan melawan hukum yang merugikan pihak lain dan dirinya.
·      Pembinaan Komunitas Ahmadiyah oleh Depag dan MUI
·      Pengawasan dan penuntutan terhadap pengikut aliran Ahmadiyah yang dilakukan oleh Kejari melalui PAKEM
·      Peyelidikan terhadap tindak pidana yan Peyelidikan terhadap tindak pidana yang telah terbukti melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku oleh pengikut aliran Ahmadiyah dilaksanakanoleh penyelidik kepolisian Negara RI.
















BAB IV
ANALISIS

Seluruh komunitas Ahmadiyah mengalami pelanggaran hak-hak asasi sebagai manusia dan hak-hak konstitusional sebagai warga negara, khususnya:
1. Hak atas kebebasan beragama
UUD 1945 memberi jaminan bagi semua warga negara Indonesia bahwa ‘setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadat menurut agamanya’ (pasal 28E, ayat 1) dan bahwa ‘setiap orang berhak atas kebebasan menyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya’ (pasal 28E, ayat 2). UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights menegaskan komitmen Indonesia pada hak atas kebebasan beragama, termasuk prinsip bahwa ‘tak seorang pun akan dijadikan sasaran pemaksaan yang dapat mengikis kebebasannya untuk menganuti atau memasuki agama atau kepercayaan yang menjadi pilihannya’ (pasal 18, ayat 2). UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia menempatkan hak atas kebebasan beragama sebagai salah satu dari ‘hak dasar  yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun oleh siapapun’ (Pasal 4).
2. Hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi
UUD 1945 memberi jaminan bagi semua warga negara Indonesia untuk ‘bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia’ (pasal 28G, ayat 2). Pasal ini juga menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia ‘berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai yang merupakan hak asasi’ (pasal 28G, ayat 1).
3. Hak atas perlindungan
UUD 1945 memberi jaminan bagi semua warga negara Indonesia bahwa ‘setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’ (pasal 28D, ayat 1). Selanjutnya, UUD 1945 menegaskan bahwa ‘setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu’ (pasal 28I, ayat 2).

Perempuan Ahmadiyah mengalami pelanggaran-pelanggaran tambahan yang berbasis jender, selain pelanggaran-pelanggaran yang sama-sama dialami dengan warga laki-laki sebagai bagian dari keseluruhan komunitas Ahmadiyah:
1. Hak perempuan untuk bebas dari kekerasan berbasis jender
Perempuan Ahmadiyah mengalami kekerasan seksual dan ancaman kekerasan pada saat penyerangan terhadap komunitasnya sedang berlangsung, sebagaimana terjadi di Desa Sukadana, Cianjur, Jawa Barat Tiga perempuan Ahmadiyah mengalami ancaman perkosaan di Cianjur, satu perempuan mengalami pelecehan di pengungsian, 1 anak perempuan yang mengalami pelecehan verbal dari Satpol PP penjaga pengungsian.
 Sementara itu, jaminan-jaminan hak konstitusional yang terjabarkan dalam UUD 1945 berlaku sama bagi warga negara perempuan maupun laki-laki, termasuk hak atas rasa aman (pasal 28G, ayat 1). Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (1993) menegaskan bahwa ‘kekerasan terhadap perempuan merupakan sebuah pelanggaran hak-hak asasi dan kebebasan fundemental perempuan dan menghalangi atau meniadakan kemungkinan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasan mereka’.
2.    Hak perempuan untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan
Gugatan KUA Cianjur, , pada tahun 2005 terhadap pernikahan seorang perempuan Ahmadiyah dengan seorang Muslim yang bukan Ahmadiyah mengakibatkan hubungan seksual mereka dianggap zina dan anaknya dianggap haram. Hal ini menunjukkan pelanggaran hak-hak asasi perempuan Ahmadiyah untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, sebagaimana dijamin oleh UUD 1945, pasal 28B, ayat 1, dan ditegaskan lebih lanjut dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 10.

3. Hak perempuan atas kesehatan reproduksi
Seorang perempuan Ahmadiyah mengalami keguguran di pengungsian akibat menggendong dan membawa lari anaknya dalam upaya penyelamatan diri, dan seseorang perempuan Ahmadiyah lain mengalami kesulitan dalam proses melahirkan di tempat persembunyian di hutan setelah mendapatkan ancaman perkosaan dari massa penyerang. Pemulihan yang didapatkan oleh perempuan Ahmadiyah belum holistik, antara lain belum ada layanan khusus untuk kebutuhan kesehatan reproduksi perempuan, termasuk dalam melahirkan dan pengobatan gangguan fungsi reproduksi akibat tekanan konflik yang mereka alami. Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional (pasal 28H, ayat 1) yang dijamin oleh UUD 1945 dan berlaku untuk semua warga negara.



2 komentar:

  1. ion titanium hair color - Titanium Arts
    Tito, also known as the Tetonstone titanium connecting rod Hair Color, is a colorless, straight titanium knife cut in microtouch titanium trim a highly polished style that titanium nose jewelry is closely associated with the Tetonstone, used ford fusion titanium its primary

    BalasHapus