BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Anak mempunyai
hak yang bersifat
asasi, sebagaimana yang dimiliki orang dewasa,
hak asasi manusia
(HAM). Pemberitaan yang
menyangkut hak anak tidak segencar
sebagaimana hak-hak orang
dewasa (HAM) atau isu gender, yang menyangkut hak perempuan.
Perlindungan
hak anak tidak banyak pihak yang turut memikirkan dan melakukan langkah-langkah kongkrit. Demikian juga upaya untuk melindungi hak-hak anak yang dilanggar
yang dilakukan negara, orang dewasa
atau bahkan orang tuanya sendiri,
tidak begitu menaruh perhatian
akan kepentingan masa depan anak. Padahal
anak merupakan belahan jiwa, gambaran dan cermin masa depan,
aset keluarga, agama, bangsa dan negara. Di berbagai negara dan berbagai tempat di negeri ini, anak-anak justru mengalami perlakuan
yang tidak semestinya, seperti eksploitasi anak, kekerasan terhadap
anak, dijadikan alat
pemuas seks, pekerja anak, diterlantarkan, menjadi
anak jalanan dan korban perang/konflik bersenjata.
Menurut data
yang dikeluarkan UNICEF
tahun 1995, diketahui bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, hampir 2 juta anak-anak tewas, dan 4-5 juta anak-anak cacat hidup akibat perang. Di beberapa negara, seperti Uganda, Myanmar, Ethiopia, Afghanistan dan Guatemala,
anak-anak dijadikan peserta tempur (combatan) dengan dikenakan wajib militer. Semua terjadi
akibat kedahsyatan mesin
perang yang diproduksi negara-negara industri, yang pada akhirnya
membawa penderitaan bukan
hanya dalam jangka pendek, tetapi
juga berakibat pada jangka panjang
yang menyangkut
masa depan pembangunan bangsa dan negara.Demikian juga di negara-negara yang dalam keadaan
aman, yang tidak mengalami konflik bersenjata, telah
terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak akibat pembangunan ekonomi yang dilakukan, seperti
pekerja anak (child labor), anak jalanan
(street children), pekerja seks anak (child prostitution), penculikan dan perdagangan anak (child trafficking), kekerasan anak (violation) dan penyiksaan (turtore) terhadap anak.2
Di Indonesia pelanggaran hak-hak anak baik yang tampak mata maupun tidak tampak mata, menjadi pemandangan yang lazim dan biasa
diberitakan di media
masa, seperti mempekerjakan anak baik di sektor formal, maupun informal,
eksploitasi hak-hak anak. Upaya mendorong prestasi
yang terlampau memaksakan kehendak pada anak secara berlebihan, atau untuk mengikuti berbagai kegiatan
belajar dengan porsi
yang melampaui batas kewajaran
agar mencapai prestasi seperti yang diinginkan orang tua. Termasuk juga meminta anak menuruti kehendak pihak tertentu (produser) untuk menjadi penyayi atau bintang cilik, dengan kegiatan dan jadwal yang padat, sehingga anak kehilangan dunia anak-anaknya.
Pada sisi lain sering dijumpai perilaku anak yang diketegorikan
sebagai anak nakal atau melakukan
pelanggaran hukum, tapi tidak mendapat perlindungan hukum sebagaimana mestinya dalam proses hukum. Hak-hak yang mereka miliki diabaikan begitu saja
dengan perlakukan yang tidak manusiawi
oleh pihak tertentu,
dan kadang kala dimanfaatkan sebagai kesempatan untuk mencari keuntungan diri sendiri, tanpa
peduli bahwa perbuatannya telah melanggar
hak-hak anak
BAB II
TELAAH PUSTAKA
Hak
asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaannya manusia sebagai mahluk
tuhan dan merupakan anugrah yang wajib ditaati,dijungjung tinggi dan dilindungi
oleh negara,hokum,pemerintah dan setiap orang. Instrumen hukum yang mengatur
perlindungan hak-hak anak
diatur sebagai berikut :
·
Konvensi Deklarasi universal ham yaitu dalam pasal 1, 2, 3,
4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11.
·
UUD 1945 Pasal 27, 29, 31 (1), 34.
·
UU no 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak
·
UU no 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia dalam pasal
Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights
of The Child) th 19893 , telah diratifikasi oleh lebih 191 negara. Indonesia sebagai
anggota PBB telah meratifikasi dengan Kepres Nomor 36 th 1990. Dengan
demikian Konvensi
PBB tentang Hak Anak tersebut
telah menjadi hukum Indonesia dan mengikat
seluruh warga negara Indonesia.Konvensi Hak-Hak Anak merupakan instrumen
yang berisi rumusan prinsip-prinsip
universal dan ketentuan
norma hokum mengenai anak. Konvensi Hak Anak merupakan
sebuah perjanjian internasional mengenai hak asasi manusia yang memasukan masing-masing hak-hak sipil
dan politik, ha-hak
ekonomi, sosial dan budaya. Secara garis besar Konvensi Hak Anak dapat dikate-gorikan sebagai berikut,
pertama penegasan hak-hak anak, kedua
perlindungan anak oleh negara, ketiga
peran serta berbagai pihak (pemerintah, masyarakat dan swasta) dalam menjamin peng-hormatan terhadap hak-hak anak.Ketentuan hukum mengenai hak-hak anak dalam Konvensi
Hak Anak dapat dikelompokan menjadi:
1. Hak terhadap
kelangsungan hidup (survival rights)
2. Hak terhadap
perlindungan (protection rights)
3. Hak untuk Tumbuh Berkembang (development rights)
4. Hak untuk Berpartisipasi (participation rights)
BAB III
FAKTA
PELANGGARAN HAM
Temuan Penyerangan terhadap Komunitas Ahmadiyah di Cianjur, Jawa
Barat
Di Cianjur
pengrusakan terhadap mesjid dan rumah
Komunitas Ahmadiyah terjadi sejak 3 September 2005. Pengrusakan terjadi
terhadap rumah salah seorang anggota Komunitas Ahmadiyah di Kampung
Ciherang, Desa Sukadana,
Kecamatan Sukanagara yang dilakukan
oleh massa kurang
lebih berjumlah 50 orang.
Pengrusakan terjadi karena pemilik rumah dianggap menantang ahli sunnah wal Komunitas. Merespon peristiwa
tersebut, MUSPIKA Kecamatan
Campaka melakukan pertemuan dengan
Komunitas Ahmadiyah, Ketua MUI Campaka,
Kades Sukadana, Polres Cianjur
dan ahli sunnah wal
jamaah untuk membahas masalah
tersebut pada 4 September 2005.
Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan agar Komunitas
Ahmadiyah memenuhi tuntutan ahli sunnah wal jamaah antara lain untuk mengikuti fatwa MUI, tidak mengulang
perbuatan yang dapat memancing emosi ahli
sunnah wal jamaah dan
tidak boleh menjadi
pengurus pamong Desa.
Selanjutnya, pada 17 September 2005 dilaksanakan tabligh
akbar dihadiri sekiar
1000 orang di Desa
Sukadana, Kecamatan Campaka,
Kabupaten Cianjur. Pada saat pelaksanaan lampu sempat padam. Keesokan
harinya tersebar isu bahwa listrik
padam disengaja oleh Komunitas Ahmadiyah. Pada 19 September 2005,
massa yang berjumlah kurang lebih 200 orang
melakukan pengrusakan terhadap
mesjid, rumah dan harta benda Komunitas ahmadiyah di Desa Ciparay, Kecamatan
Cibeber dan melanjutkan pengrusakan ke Kampung Neglasari, Desa Sukadana, Kecamatan Campaka dan Kampung
Panyairan, Desa Campaka, Kecamatan Campaka. Merespon penyerangan tersebut Pemkab. Cianjur, Jawa Barat pada 17 Oktober
2005, keluar SKB Nomor
21 Tahun 2005 tentang larangan
melakukan aktivitas
penyebaran ajaran/faham Ahmadiyah di Kabupaten Cianjur
yang ditandatangani Bupati Cianjur,
Kepala Kejaksaaan Negeri Cianjur dan Kepala Kantor
Departemen Agama Kabupaten Cinajur.
SKB dikeluarkan dengan menimbang semakin
besarnya tuntutan masyarakat untuk dibekukannya segala
betuk kegiatan Komunitas Ahmadiyah serta untuk
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat Cianjur dan memperhatikan antara
lain:
1. Fatwa MUI
Nomor: 11/MUNAS
VII/MUI/15/2005.
2. Surat Edaran
Dirjen Bimas Islam
dan Urusan Haji Nomor
D/BA.01/3099/84 tanggal 20 September 1984 perihal Aliran
Ahmadiyah dan
3. Surat Lembaga
Pengkajian dan Penerapan
Syariah Islam Kabupaten
Cianjur Nomor
03/LP/II/SY-I-VII/SEK/2005 tanggal 2 Agustus 2005 perihal Kajian tentang Sikap umat Islam terhadap Komunitas Ahmadiyah pemurtadan dan pemberantasan
munkarot dan dukungan pernyataan sikap bersama yang dibuat 41 ormas/LSM/LPD/LSK Islam di Kabupaten
Cianjur pada 5 September 2005. SKB
ini antara lain memutuskan:
· Melarang aktivitas penyebaran faham/ajaran Ahmadiyah dalam bentuk
apapun.
· Melarang sikap anarkis
dan melawan hukum yang merugikan
pihak lain dan dirinya.
· Pembinaan Komunitas Ahmadiyah oleh Depag dan MUI
· Pengawasan dan penuntutan terhadap pengikut aliran Ahmadiyah yang dilakukan oleh Kejari melalui PAKEM
· Peyelidikan terhadap tindak pidana yan Peyelidikan terhadap tindak pidana yang telah terbukti melanggar
ketentuan perundang-undangan yang berlaku oleh pengikut aliran Ahmadiyah dilaksanakanoleh penyelidik kepolisian Negara RI.
BAB IV
ANALISIS
Seluruh komunitas Ahmadiyah mengalami pelanggaran hak-hak asasi sebagai manusia dan
hak-hak konstitusional sebagai warga negara, khususnya:
1. Hak atas kebebasan
beragama
UUD 1945 memberi jaminan
bagi semua warga negara Indonesia bahwa ‘setiap orang bebas untuk memeluk
agama dan beribadat
menurut agamanya’ (pasal
28E, ayat 1) dan bahwa ‘setiap
orang berhak atas kebebasan menyakini
kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya’ (pasal 28E, ayat 2). UU Nomor
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Civil and Political Rights menegaskan komitmen
Indonesia pada hak atas kebebasan beragama, termasuk prinsip bahwa
‘tak seorang pun akan dijadikan
sasaran pemaksaan yang dapat mengikis kebebasannya untuk menganuti atau memasuki agama atau
kepercayaan yang menjadi pilihannya’ (pasal 18, ayat 2). UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia menempatkan hak atas kebebasan
beragama sebagai salah satu dari ‘hak dasar yang
tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun oleh
siapapun’ (Pasal 4).
2.
Hak untuk bebas dari penyiksaan dan
perlakuan yang tidak manusiawi
UUD 1945 memberi jaminan
bagi semua warga negara Indonesia
untuk ‘bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia’ (pasal 28G,
ayat 2). Pasal ini juga menegaskan bahwa setiap warga negara Indonesia
‘berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuai yang merupakan hak asasi’ (pasal 28G, ayat 1).
3. Hak atas perlindungan
UUD 1945 memberi jaminan
bagi semua warga negara Indonesia bahwa ‘setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum’ (pasal 28D, ayat 1). Selanjutnya, UUD 1945 menegaskan bahwa ‘setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu’ (pasal 28I,
ayat 2).
Perempuan Ahmadiyah
mengalami pelanggaran-pelanggaran tambahan yang berbasis
jender, selain pelanggaran-pelanggaran yang sama-sama dialami dengan warga
laki-laki sebagai bagian dari keseluruhan komunitas Ahmadiyah:
1. Hak perempuan untuk
bebas dari kekerasan berbasis jender
Perempuan Ahmadiyah
mengalami kekerasan seksual
dan ancaman kekerasan
pada saat penyerangan terhadap
komunitasnya sedang berlangsung, sebagaimana terjadi di Desa
Sukadana, Cianjur, Jawa Barat Tiga perempuan Ahmadiyah
mengalami ancaman perkosaan
di Cianjur, satu perempuan mengalami pelecehan di pengungsian, 1 anak perempuan yang mengalami pelecehan verbal
dari Satpol PP penjaga pengungsian.
Sementara itu, jaminan-jaminan hak konstitusional yang terjabarkan dalam UUD 1945 berlaku sama bagi
warga negara perempuan maupun laki-laki, termasuk hak atas rasa aman (pasal 28G, ayat
1). Deklarasi PBB tentang Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan terhadap Perempuan (1993) menegaskan bahwa ‘kekerasan terhadap
perempuan merupakan sebuah pelanggaran hak-hak asasi dan kebebasan fundemental perempuan dan
menghalangi atau meniadakan kemungkinan perempuan untuk menikmati hak-hak asasi dan kebebasan mereka’.
2. Hak perempuan untuk
berkeluarga dan melanjutkan keturunan
Gugatan
KUA Cianjur, , pada tahun 2005 terhadap pernikahan seorang perempuan Ahmadiyah dengan
seorang Muslim yang bukan Ahmadiyah mengakibatkan hubungan
seksual mereka dianggap
zina dan anaknya
dianggap haram. Hal ini menunjukkan pelanggaran hak-hak asasi perempuan
Ahmadiyah untuk berkeluarga dan melanjutkan keturunan, sebagaimana
dijamin oleh UUD 1945, pasal 28B, ayat 1, dan ditegaskan lebih lanjut dalam
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, pasal 10.
3. Hak perempuan atas
kesehatan reproduksi
Seorang
perempuan Ahmadiyah mengalami keguguran di pengungsian akibat menggendong dan membawa
lari anaknya dalam upaya penyelamatan diri, dan seseorang perempuan
Ahmadiyah lain mengalami
kesulitan dalam proses melahirkan
di tempat persembunyian di hutan setelah mendapatkan ancaman perkosaan dari massa penyerang. Pemulihan yang didapatkan oleh perempuan Ahmadiyah
belum holistik, antara lain belum ada layanan khusus untuk kebutuhan
kesehatan reproduksi
perempuan, termasuk dalam melahirkan dan pengobatan gangguan fungsi reproduksi akibat tekanan konflik yang mereka alami.
Hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan merupakan hak konstitusional (pasal 28H, ayat 1) yang dijamin oleh UUD
1945 dan berlaku untuk semua warga negara.
ion titanium hair color - Titanium Arts
BalasHapusTito, also known as the Tetonstone titanium connecting rod Hair Color, is a colorless, straight titanium knife cut in microtouch titanium trim a highly polished style that titanium nose jewelry is closely associated with the Tetonstone, used ford fusion titanium its primary
c128c8rphrg542 prostate massagers,dog dildo,Bullets And Eggs,dildo,dildo,japanese sex dolls,vibrators,dildos,real dolls f778q1xtigl544
BalasHapus