Minggu, 01 Januari 2012

HUKUM PENGANGKUTAN


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar belakang
Pengangkutan sebagai alat fisik merupakan bidang yang sangat vital dalam kehidupan masyarakat. Dikatakan sangat vital karena keduanya saling mempengaruhi, dan menentukan dalam kehidupan sehari-hari. Pengangkutan atau sistem transportasi itu sendiri mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar arus barang dan lalulintas orang yang timbul sejalan dengan perkembangan masyarakat dan semakin tingginya mobilitas, sehingga menjadikan pengangkutan itu sendiri sebagai suatu kebutuhan bagi masyarakat.
Dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan sarana transportasi ini, maka sedikit banyak akan berpengaruh terhadap perkembangan di bidang pengangkutan itu sendiri yang mendorong perkembangan dibidang teknologi, sarana dan prasarana pengangkutan, ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang pengangkutan, serta hukum pengangkutan, disamping tidak dapat dihindari pula timbulnya berbagai permasalahan yang diakibatkan dengan adanya pengangkutan itu sendiri.
Transportasi yang semakin maju dan lancarnya pengangkutan, sudah pasti akan menunjang pelaksanaan pembangunan yaitu berupa penyebaran kebutuhan pembangunan, pemerataan pembangunan, dan distribusi hasil pembangunan di berbagai sector ke seluruh pelosok tanah air, misal sektor industri, perdagangan, pariwisata dan pendidikan.
B. Rumusan masalah
Ø  Mengungkap bagimana Realita Peradilan Adat di Indonesia. . . ?
Ø  Apa Perbedaan Sistem Hukum Adat Dengan Sistem Hukum Barat. . . ?
Ø  Wewenang dalam Peradilan Adat. . . ?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


Pengertian pengangkutan secara umum.
       Menurut arti kata, angkut berarti mengangkat dan membawa, memuat atau mengirimkan. Pengangkutan artinya usaha membawa, mengantar atau memindahkan orang atau barang dari suatu tempat ke tempat yang lain[1]. Jadi, dalam pengertian pengangkutan itu tersimpul suatu proses kegiatan atau gerakan dari suatu tempat ke tempat lain. Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. Dalam hal ini terkait unsure-unsur pengangkutan sebagai berikut[2] :
1.      Ada sesuatu yang diangkut.
2.      tersedianya kendaraan sebagai alat angkutan.
3.      ada tempat yang dapat dilalui alay angkutan.
Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan. berisikan perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun Pengangkutan dapat diartikan sebagai pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.
       Menurut pendapat R. Soekardono, SH, pengangkutan pada pokoknya berisikan perpindahan tempat baik mengenai benda-benda maupun mengenai orang-orang, karena perpindahan itu mutlak perlu untuk mencapai dan meninggikan manfaat serta efisiensi.Adapun proses dari pengangkutan itu merupaka gerakan dari tempat asal dari mana kegiatan angkutan dimulai ke tempat tujuan dimana angkutan itu diakhiri.

A.2.Pengertian Barang
Pengertian barang menurut Pasal 1 (c) The Hague Rules yaitu barang adalah segala jenis barang dan barang-barang dagangang kecuali binatang hidup dan muatan yang menurut perjanjian pengangkut ditetapkan akan diangkut diatas dek dan memang dimuat diatas dek.
Sedangkan menurut pasal 1 The Humberg Rules yaitu barang meliputi juga binatang-binatang hidup dan barang-barang yang dalam container/pallet. Tentang binatang, pengangkutannya jugadilakukan dengan kapal tetapi pengangkut menyediakan ruangan dan air minum untuk hewan.Terhadap keselamatannya sampai dengan pembongkaran di pelabuhan tujuan, oleh pengangkut dinyatakan bukan beban carrier melainkan Shipper[3].
Barang sebagai obyek pengangkutan barang di laut adalah segala sesuatu benda yang akan diangkut oleh kapal dari suatu tempat penerimaan sampai ke tempat tujuan sepanjang benda-benda itu oleh peraturan hukum yang ada diperbolehkan dimasukkan atau dikeluarkan dari pelabuhan secara legal.
Pengertian Hukum Angkutan
Hokum angkutan Adalah merupakan kedudukan yang sama antara pengangkut dan pengirim disebrangi antara pengangkutan dan pengirim disebrangi dengan perjanjian-perjanjian kemudian perjanjian itu berakhir/habis pada waktu yang tidak pasti. Contoh : apabila pengangkutan sudah selesai maka perjanjian itu berakhir dengan sendirinya.
 Menurut  H. M. M PURWO SUCIPTO SH Hukum angkutan adalah orang yang mengikatkan dirinya untuk menyelenggarakan pengangkutan/barang ke tempat tujuan dengan selamat Sedangakn Pengirim adalah orang yang mengikatkan dirinya untuk membayar upah angkutan.

Jenis- Jenis Pengangkutan

Dalam Hukum Angkutan di atur tentang jenis-jenis pengangkutan diantaranya adalah :
1.      Pengangkutan Darat
      Yang diatur pada KUHP Buku I Bab V bagian I, II pasal 96-98 dan dasar hukum yang lain dapat kita lihat pada BW / KUHP Perdata.
      Buku III (Overen Comet) Dalam hal pengangkutan darat sekalian diatur tentang pengangkatan barang, pengangkutan  lain yang diatur :
a.    Pada Stb 1927/262 tentang pengangkatan kereta pai
b.     UU No 3 / 1965 (lembaran negara 1965 No 25) tentang lalu lintas jalan raya)
c.    Stb 1936 No 451 berdasarkan PP No 28 / 1951 (LN 1951 No 2 ) dan PP No 2/1964/LN 1964 no 5 tentang peraturan lalu lintas jalan raya.
d.   Peraturan tentang pos dan telekomunikasi
2.      Pengangkutan laut
      Dalam pengangkutan laut diatur pada :
a.       KUHP Buku II Bab V, tentang perjanjian antara kapal
b.      KUHP Buku II Bab V A, tentang pengangkatan barang
c.       KUHP Buku II Bab V B, tentang pengangkutan orang
d.      Peraturan-peraturan Khusus lainnya.
3.      Pengangkutan laut
      Dalam pengangkutan laut diatur pada :
e.       KUHP Buku II Bab V, tentang perjanjian antara kapal
f.       KUHP Buku II Bab V A, tentang pengangkatan barang
g.      KUHP Buku II Bab V B, tentang pengangkutan orang
h.      Peraturan-peraturan Khusus lainnya.
4.      Pengangkutan Perairan Pedalaman
Diatur pada ;
a.       Buku I Bab V KUHP bagian 2 dan 3 pasal 90 – 98 misalnya pengangkutan di Sungai dan di selat, danau dsb
Dalam pengangkutan ada beberapa unsur yang harus diketahui :
1.      Ada pengangkut / orangnya (person)
2.      Adanya barang-barang yang menjadi objek angkutana
3.      Adanya alat/sarana angkutan/isntrumen
4.      Adanya di pengirim.
5.      adanya di penerima.
Dalam hukum Angkutan dikenal perjanjian timbal balik dimana di pengirim melakukan perjanjian dengan di penerima dengan kewajiban membayar ongkos angkut. Perjanjian timbal balik, baiknya dibuat dengan Akta Autentik

SIFAT-SIFAT PERJANJIAN ANGKUTAN

Dalam hokum angkutan adapun sifat-sifat perjanjian antara lain[4] :
·         Bersifat berkala
Perjanjian antara para pihak akan putus apabila di perjanjian jangka waktu habis.
·         Bersifat campuran
Dalam perjanjian angkutan dimana pengangkut barang tersebut apabila terjadi penyimpangan terhadap suatu barang maka dibuat pula perjanjian penyimpangan.
·         Bersifat konsenvalitas
Perjanjian yang dilaksanakan kepada kesepakatan para pihak pada dasarnya kesepakatan para pihak telah mengatur perjanjian tetapi masih diperlukan alat bukti, dalam hal ini kita lihat seperti perjanjian Charter Kapal sebagaimana diatur dalam pasal 459 KUHP.Dengan perjanjian tersebut diatas, maka lahirlah suatu dokumen yang disebut konosumen → surat biasaYang dimaksud dengan konsumen suatu surat tanda terima barang yang harus diberikan pengangkut pada pengirim sebagaimana yang diatur pada pasal 504 dan 506 KUHP
Dalam praktek  jika, terjadi kerusakan atas barang dan mobil angkutan yang menjadi tanggung jawab adalah si pengangkut dan hal ini tidak adil. Dalam teori diatur sedemikian rupa dalam Hukum Angkutan. Dalam barang angkutan barang di darat ada namanya dokumen yang disebut dengan Surat Muatan/Vracht bref yang diatur dalam pasal 90 KUHP. Namun, dokumen ini bukanlah syarat mutlak perjanjian muatan barang. Namun, tanpa dokumen ini perjanjian dianggap ada, sehingga si pengirim tidak punya hak untuk menahan barang/refensi jika Penerima barang tentang pembiayaan barang angkutan.
Dalam hal pelaksanaan perjanjian angkutan seringkali dilaksanakan oleh orang lain dalam hal ini dilaksanakan oleh :
1.      Ekspeditur
Seorang perantara yang bersedia untuk mencarikan pengangkut yang baik bagi seorang pengirim Ekspeditur diatur dalam KUHP Bab V Bagian II Pasal 86 – 90 KUHP. Jadi ekspeditur menurut UU hanyalah sekedar perantara yang bersedia mencari pengangkut untuk si pengirim tetapi tidak mengangkut barang yang dipersiapkan kepadanya sendiri. Oleh karena itu, perjanjian yang terjadi antara ekspeditur dengan si pengirim disebut dengan perjanjian ekspedisi. Sedangkan perjanjian ekspeditur atas nama pengirim dengan pengangkut disebut perjanjian pengangkutan. Kadaluarsa mengenai angkutan oleh ekspeditur, diatur dalam pasal 90 KUHP. Daluarsa di Indonesia hanya berlaku 1 tahun, sedangkan di luar negeri daluarsa itu selama 2 tahun.
2.      Bagian kapal
3.      Perusahaan lain.

SIFAT PERJANJIAN EKSPEDISI

·         Bersifat timbal balik
Kadaluarsa di atur pada buku II BW artinya diantara pengirim dan ekspiditur mengikatkan dirinya untuk mencari pengangkut yang baik untuk si pengirim, sedangkan si pengirim mengikat dirinya untuk membayar komisi pada ekspiditur
·         Bersifat rangkap
·         Bersifat berkala, Diatur dalam pasal 1601 – 1702 BW
Perjanjian antara para pihak akan putus apabila diperjanjian jangka habis
·         Bersifat pemberian udara
Jika ekspeditur membuat atas namanya sendiri, maka perjanjian ekspedisi ini mempunyai hubungan perjanjian komisi, dan jika kemungkinan ekspeditur menyimpan barang yang ada padanya, maka perjanjian ekspeditur ditambah dengan perjanjian penyimpangan. Pengangkutan yang dimaksud pengangkutan di sini adalah mengangkat/memindahkan suatu barang dari suatu tempat ke tempat yang lain

Tanggung Jawab Ekspeditur

1.        Bahwa ekspeditur harus bertanggung jawab dalam pengiriman barang. Barang tersebut harus dalam keadaan rapi dan barang harus sampai kepada alamr sebagaimana yang diperjanjikan
2.        Ekspeditur bertanggung jawab/menghindari gangguan terhadap barang yang diangkut
3.        Tanggung jawab ekspeditur mengangkut lebih lanjut barang yang akan diangkutnya
Pasal 86 dan 87 adalah dasar hukum yang mengatur bagaimana tanggung jawab ekspeditur dan mencarikan pengangkat untuk mengirim suatu barang. Namun, daam praktiknya ekspeditur banyak yang jadi pengangkut dan ini mengalami kesulitan dalam pelaksanaan UU.

Batas-batas Tanggung Jawab Ekspeditur

Tanggung jawab ekspeditur berakhir jika barang telah sampai pada si penerima ( pasal 88 KUHP ) jika terdapat kerugian akibat kesalahan ekspeditur yang tidak dapat dibuktikan maka kerugian tersebut tidak dapat dibebankan kepada ekspeditur itu sendiri.
Dalam praktiknya ada dikenal ekspeditur tidak tetap maksudnya ia bertindak sebagai ekspeditur hanya kadangkala yang diatur pada pasal 86 s/d 90 KUHP.

Hubungan Antara Penerima dengan Perjanjian Ekspedisi

Jika penerima telah menerima suatu barang muatan atau menolak karena rusak atau kurang dari yang ditentukan. Maka apabila terjadi masalah ini antara si penerima dan si pengangkut akan berhadapan dengan perjanjian-perjanjian ekspedisi. Sejauh mana dapat dibuktikan dengan dokumen-dokumen yang ada
Pengirim adalah sebagai pemberi kuasa dan pemberi perintah pada ekspeditur untuk mencari pengangkut terhadap barang pengirim umumnya penerima bukan pemberi tetapi pihak pemberi.
Pasal 1357 BW  menyebutkan di penerima berhak memberikan honorarium kepada  atau mengganti uang muka yang telah dikeluarkan oleh ekspeditur dan ekspeditur mempunyai hak retensi (Pasal 1821 BW → hak menahan barang)

TANGGUNG JAWAB PENGANGKUT

Tanggung jawab pengankut adalah Melakukan pengangkutan dengan baik, mulai barang yang dimuat sampai ketempat penerima. Jika tidak selamat maka si pengangkut bertangung jawab terhadap barang yang rusak tersebut.

Dengan demikian pengangkutan berarti dapat dituntut ganti rugi dari rusaknya barang kecuali 4 hal yang harus diperhatikan sebagaimana pasal 91 KUHP
1.      Keadaan memaksa Overmach
2.      Cacat barang itu sendiri
3.      Kesalahan si pengirim
4.      Terlambat barang sampai tujuan karena rusak
Sebaliknya Pengangkut Dapat Mendapat Tuntutan Dalam Pasal
dimana  pengangkut mempunyai beberapa alasan :
1.      Tidak dapat dilaksanakannya
2.      Tidak sempurna
3.      Tidak tepat waktu dilaksanakannya perikatan itu disebabkan karena suatu peristiwa yang tidak dapat diduga lebih dahulu dan tidak dapat dipertanggung jawabkan dan tida ada itikat buruk dalam hal ini dapat diberikan dalam pengangkut
Menurut pasal 517 B.W bahwa di pengangkut menawarkan diri pada umumnya bagi orang yang ingin memakai jalannya tetapi pengangkut berhak menolak jika :
·         Barang yang berbahaya
                  Ex : ganja, bom, dll
·         Barang larangan
                  Ex : ganja, heroin dll.

Identitas Barang Muatan
Dalam pengangkutan laut, identitas barang muatan dicantumkan suatu surat berharga yang disebut konosemen atau bill of lading. Konosemen atau bill of lading inilah yang disebut dengan surat muatan[5]. Dalam konosemen memuat identitas kepada siapa barang-barang itu harus diserahkan. Konosemen dapat diterbitkan atas pengganti atau atas tunjuk. Selain itu konosemen juga harus memuat identitas barang yang akan diangkut itu dan pencatatan itu seberapa mungkin hendaknya diperinci guna mencegah timbulnya kemungkinan perselisihan mengenai identitas barang-barang angkutan itu pada saat penyerahannya. Biasanya di dalam konosemen atau bill of lading diterangkan tentang keadaan waktu barang diterima untuk diangkut dengan menentukan klausula receive for shipment in apparent goodorder and condition, dan dengan adanya keterangan itu menjadi bukti tentang keadaan barang[6].

Akibat Yang Timbul Dari Perjanjian Pengangkutan Laut
Dalam pengangkutan laut timbul suatu perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim. Dari adanya perjanjian pengangkutan laut tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi pengangkut dan pengirim. Pengangkut mempunyai kewajiban untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan atau orang dari satu tempat ke ketempat tujuan
tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mempunyai kewajiban untuk membayar angkutan. Antara pengangkut dan pengirim sama-sama saling mempunyai hak untuk melakukan penuntutan apabila salah satu pihak tidak memenuhi prestasi[7].
 Pengertian Asuransi
Asuransi atau pertanggungan yang merpakan terjemahan dari insurance atau verzekering atau assurantie. Definisi asuransi yang diberikan undang-undang dapat dilihat dalam pasal 246 KUHD yang berbunyi :
“Asuransi atau pertanggungan adalah suau perjanjian dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung dengan menerima uang premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa tak tertentu”
Sedangkan definisi asuransi yang terdapat dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, yaitu :
“Asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung kerena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”
B. Macam-Macam Asuransi Pengangkutan Udara
Beberapa pihak yang terlibat didalam kegiatan industri penerbangan dapat menutupi asuransi sesuai dengan resiko yang dihadapinya masing-masing, diantaranya[8] :
  1. Penutupan asuransi yang dilakukan oleh operatuor, pengangkut atau pemilik udara.
Asuransi mengenai penutupan yang dilakukan oleh operatuor, pengangkut atau pemilik udara ini berupa :
-     Asuransi rangka pesawat
-     Asuransi tanggungjawab pengangkut kepada enumpang dan bagasi penumpang
-     Asuransi tanggungjawab terhadap pihak ketigaasuransi awak pesawat
-     Asuransi pembajakan pesawat udara
  1. Asuransi tanggungjawab pengelola pelabuhan udara
  2. Asuransi tanggungjawab pengusaha pabrik pesawat dan bengkel reparasinya




BAB III
PEMBAHASAAN

Kasus Posisi
Pada tanggal 16 Januari 2002 kemarin sebuah maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300 dengan nomor penerbangan GA-421 jatuh melintang di anak sungai Bengawan, kabupaten Klaten. Dalam kecelakaan tersebut seorang wanita muda yaitu prmaugari bernama Santi Anggraeni yang telah bekerja selama tujuh tahun tewas setelah terhempas keluar dari pesawat dan hanyut oleh arus sungai yang sedang meluap, sementara pilot Kapten Abdul Rozak bersama enam kru lainnya serta ke 51 penumpangnya tiga diantaranya balita selamat dan hanya mengalami luka memar dan patah tulang.
A.    Tanggungjawab Pihak Perasuransian yang ditunjuk Perusahaan Penerbangan terhadap Penumpang.
Pengangkutan yang ada di Indonesia terdiri dari pengangkutan darat, laut  dan udara. Pengangkutan udara dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) dipergunakan suatu istilah pengangkut sebagai salah satu pihak yang mengadakan perjanjian pengfangkutan. Pengangkutan udara yang diselenggarakan oleh pihak PT. Garuda  merupakan keterpadauan kegiatan transportasi yang meliputi pengangkutan penumpang, barang dan bagasi.
Mengenai tanggungjawab perusahaan pengangkutan udara  terhadap kerugian yang timbul karena kecelakaan yang menimpa diri penumpang seperti dalam kasus posisi diatas, Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad 1939-100 menentukan dalam pasal 24 ayat (1), yaitu :
“Pengangkut bertanggungjawab untuk keruggian sebagai akibat dari luka-luka atau jelas-jelas lain pada tubuh yang diderita oleh penumpang, bila kecelakaan yang menimbulkan kerugian itu ada hubungannya dengan pengangkutan udara dan terjadi diatas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat”.
Dari pasal tersebut ternyata bahwa pengangkut udara dianggap selalu bertanggungjawab, asal dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut, yaitu :
-       Adanya kecelakaan
-       Kecelakaan ini harus ada hubungannya dengan pengangkutan udara
-       Kecelakaan ini harus terjadi diatas pesawat terbang atau selama melakukan suatu tindakan dalam hubungan dengan naik ke atau turun dari pesawat.
Prinsip-prinsip tanggungjawab khususnya untuk penumpang yang dapat disimpulkan dari ketentuan-ketentuan Konvensi Warsawa dan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatblad 1939-100, diantaranya yaitu :


1. Prinsip Persumption of Liability
Bahwa seseorang pengangkut dianggap perlu bertanggungjawab untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang, barang atau bagasi dan pengangkut udara tidak bertanggungjawab hanya bila ia dapat membuktikan bahwa ia tidak mungkin dapat menghindarkan kerugian itu
Jadi para pihak yang dirugikan tidak usah membuktikan adanya kesalahan dari pihak pengangkut. Prinsip in dapat disimpulkan dari pasal 29 ayat (1) Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU), yang berbunyi “Pengangkut tidak bertanggungjawab untuk kerugian bila ia membuktikan bahwa ia dan semua orang yang dipekerjakan itu, telah mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk mengambil tindakan-tindakan itu”
2. Prinsip Limitation of Liability
Bahwa setiap pengangkut dianggap selalu bertanggungjawab, namun bertanggungjawab itu terbatas sampai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuanyang telah diatur dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) maupun Konvensi Warsawa.
Pembatasan tanggung jawab pengangkut udara dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) dimaksudkan pembatasan dalam jumlah ganti rugi yang akan dibayarkan. Mengenai hal ini dalam Ordonansi Pengangkutan Udara diatur pada pasal 30 ayat (1), yang berbunyi “Pada pengangkutan penumpang, tanggung jawab pengangkut terhadap tiap-tiap penumpang atau terhadap keluarganya yang disebutkan dalam pasal 24 ayat (2) bersama-sama dibatasi sampai jumlah dua belas ribu lima ratus (Rp. 12.500) jika ganti kerugian ditetapkan sebagai bunga  maka jumlah uang pokok yang dibungakan tidak boleh melebihi juml;ah diatas”
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pasal yang mengatur tanggungjawab diatur dalam pasal 43 ayat (1), yang berbunyi  “Perusahaan pengangkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan bertanggungjawab atas :
  1. Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut
  2. Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut
  3. Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut”
Oleh karena itu, menurut hemat penulis pada kasus kecelakaan pesawat tersebut maka perusahaan penerbangan harus bertanggungjawab terhadap korban kecelakaan pesawat udara seperti apa yang disebutkan dalam pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan melalui perusahaan asuransi yang ditunjuk pihak PT. Garuda Indonesia, dimana para korban dapat mengajukan klaim dengan cara menyerahkan data-data tentang kerugian yang dideritanya. Setelah menerima pengajuan dari tertanggung, pihak asuransi akan meneliti kerugian (adjuster/assessor) untuk menyelidiki kerugian yang selanjutnya dilaporkan kepada penanggung, apabila tidak ada kebohongan atau tipu muslihat dalam kerugian itu, maka pihak asuransi dapat mengganti kerugian sesuai dengan apa yang diperjanjikannya.
B.     Proses Ganti Rugi Yang Dilakukan Penumpang Terhadap Perusahaan Penerbangan.
Pemberian ganti rugi yang dilakukan PT. Garuda Indonesia pada kasus kecelakaan pesawan udara Boeing 737-300 di Sungai Bengawan Solo kepada penumpang akibat kecelakaan pesawat udara diberikan melalui proses sebagai berikut[9] :
  1. Bila telah ada kesepakatan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia kepada korban kecelakaan pesawat udara tanpa harus melalui pengadilan, maka proses pemberian ganti rugi adalah :
    1. Mengisi formulir yang telah disediakan oleh PT. Garuda Indonesia yang memuat pengisian data-data identitas pihak yang berhak atas pemberian ganti rugi itu.
    2. Mengajukan segala alat bukti :
-       Tiket atau bukti pembayaran tiket.
-       Surat keterangan dokter dan biaya-biaya pengobatan perawatan, bila penumpang akibat kecelakaan pesawat udara tersebut dalam perawatan.
-       Akta perkawinan dari suami atau isteri penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara.
-       Akta kenal lahir (anak) dari penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara itu, disertai penetapan fatwa waris dari pengadilan agama yang berisi penetapan ahli waris dan besarnya bagian-bagian.
-       Kartu keluarga dari penumpang yang tewas tersebut bagi semua ahli waris yang ditanggungnya.
  1. Pihak PT. Garuda memeriksa, memproses dan meneliti data orang yang terikat perjanjian pengangkutan udara dalam pesawat yang tertimpa kecelakaan, benar tidaknya luka-luka atau cacat tubuh yang diderita penumpang tersebut akibat kecelakaan pesawat udara itu dan benar atau tidaknya orang tersebut adalah ahli waris yang ditanggung penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara itu.
  2. Bila semua bukti yang diberikan benar, maka PT. Garuda menetapkan ganti rugi yang akan diberikan, tetapi bila semua bukti yang diberikan tidak sesuai atau tidak benar maka PT. Garuda berhak untuk tidak bertanggung jawab atau berhak untuk tidak memberikan ganti rugi.
  3. Bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu disetujui oleh kedua beleh pihak, maka PT. Garuda siap untuk membayar sesuai dengan kesepakatan bersama mengenai cara pembayaran dan jangka waktunya, tetapi bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu tidak disetujui oleh pihak penumpang maka penumpang dapat mengajukan gugatan di pengadilan atau bila alat bukti yang diajukan dianggap tidak benar oleh pihak PT. Garuda maka itupun dapat diajukan gugatan ke pengadilan.
  4. Bila tidak ada kesepakatan antara pihak korban kecelakaan pesawat udara dengan pihak PT. Garuda mengenai besarnya ganti rugi sehingga harus melalui pengadilan, maka proses pemberian ganti rugi adalah :
  5. Pihak korban kecelakaan pesawat udara yang merasa tidak puas atau dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.
  6. Penggugat harus memenuhi persyaratan untuk mengajukan klaim ganti rugi yang telah diterbitkan oleh pengadilan (telah dibicarakan pada “Prosedur pengajuan claim ganti rugi”).
  7. Setelah ada putusan pengadilan, maka putusan tersebut diserahkan kepada kedua belah pihak untuk dilaksanakan, dalam putusan tersebut disebutkan besarnya ganti rugi yang harus diberikan PT. Garuda, cara pembayarannya dan jangka waktu pembayarannya.
  8. Pihak korban kecelakaan tersebut mengisi kembali formulir yang disediakan PT. Garuda mengenai data atau identitasnya.
  9. Pihak PT. Garuda memasukkan dan memproses formulir tersebut beserta putusan pengadilan.
  10. Kemudian pihak PT. Garuda slap untuk membayar ganti rugi sesuai dengan putusan pengadilan tersebut.
Pembayaran ganti rugi yang diberikan pihak PT. Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah dan langsung dibayarkan kepada orang yang berhak, atau orang yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi kepada ahli waris ialah PT. Garuda rnembayar langsung hanya kepada salah seorang wakil diantara mereka yang kemudian pembagian selanjutnya mereka atur sendiri menurut fatwa waris dari pengadilan.

C.    Pengangkutan udara dalam hubungannya dengan hukum udara
Pertanggungjawaban pengangkutan udara menjadi hal yang sangat sensitif karena dalam pengangkutan udara kemungkinan berhubungan dengan negara-negara lain lebih besar.Ini berarti kemungkinan persinggungan hukum antara dua negara atau lebih menjadi lebih besar pula.Bukan  hal yang mudah mengkoordinasikan dua kepentingan  yang berasal dari hukum yang berbeda tersebut sehingga perlu sebuah hukum ataupun aturan-aturan tertentu yang  mampu menaungi berbagai kepentingan tersebut.Berdasar dari pemikiran itulah,kemudian pembahasan dalam makalah ini diawali dengan pengenalan terhadap hukum udara internasional yang mempunyai pengaruh besar dalam pertanggungjawaban pengangkutan udara[10].
Hukum udara adalah keseluruhan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur ruang udara dan penggunaannya untuk keperluan penerbangan.Hal yang kemudian menjadi alasan  penulis menyangkutpautkan hukum udara dalam pengangkutan adalah karena sifat pengangkutan udara sendiri yang bersifat internasional.
Hukum udara bersumber dari perjanjian-perjanjian internasional ,undang-undang dan peraturan nasional serta yurisprudensi.
Berikut ini adalah beberapa perjanjian-perjanjian internasional yang menjadi sumber hukum udara internasional :
·         Perjanjian warsawa tahun 1929 ( Convention for the unification of certain rules relating to internasional carriage by air )
Perjanjian ini mengatur mengenai dokumen angkutan dan tanggungjawab pengangkutan udara nternasional.Perjanjian ini menjadi penting karena ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya baik dengan ataupun tanpa perubahan di beberapa negara diberlakukan juga bagi pengangkutan udara domestik. Misalnya di indonesia dan Belanda.
·         Perjanjian Roma tahun 1952 (Conventio of damage cause by foreight aircraft to thirt parties on the surface)
Perjanjian ini  mengatur mengenai pertanggungjawaban dan asuransi  wajib









BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari semua uraian diatas tersebut maka penulis menyinpulkan beberapa hal yaitu :
Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pasal yang mengatur tanggungjawab diatur dalam pasal 43 ayat (1), yang berbunyi  “Perusahaan pengangkutan udara yang melakukan kegiatan angkutan bertanggungjawab atas :
  • Kematian atau lukanya penumpang yang diangkut
  • Musnah, hilang atau rusaknya barang yang diangkut.
  • Keterlambatan angkutan penumpang dan atau barang yang diangkut apabila terbukti hal tersebut merupakan kesalahan pengangkut”
Oleh karena itu maka perusahaan penerbangan harus bertanggungjawab terhadap korban kecelakaan pesawat udara melalui perusahaan asuransi yang ditunjuk pihak PT. Garuda Indonesia, dimana para korban dapat mengajukan klaim dengan cara menyerahkan data-data tentang kerugian yang dideritanya.
Pembayaran ganti rugi yang diberikan pihak PT. Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah dan langsung dibayarkan kepada orang yang berhak, atau orang yang bersangkutan. Pembayaran ganti rugi kepada ahli waris ialah PT. Garuda rnembayar langsung hanya kepada salah seorang wakil diantara mereka yang kemudian pembagian selanjutnya mereka atur sendiri menurut fatwa waris dari pengadilan.
SARAN
Mengingat besarnya akibat dari kecelakaan pesawat terbang, maka perlu ditentukan besarnya gantirugi ditingkat internasional secara detail dan berlaku secara universal. Memang sulit membuat hal seperti ini, namun semua akibat harus dikorelasikan atau diperhitungkan dengan masa depan korban kecelakaan tersebut dan keluargany serta hal-hal yang secara rasional akan didapat atau diperoleh yang bersangkutan selama masa produktif oleh korban.
Negara seharusnya sebagai auditor bagi penyelenggara penerbangan di wilayah hukumnya, perlu ditentukan setiap besaran yang timbul akibat kecelakaan. Sama hal nya dengan memiliki asuransi bagi seorang individu untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan bagi diri sendiri dan keluarga. Negara patut menyampaikan kepada masyarakat dengan mengumumkannya pada media skala nasional atau di board pengumuman dimana pesawat tersebut berangkat. Hal ini perlu sebagai konsekuensi bagi penumpang yang tetap memilih angkutan udara dengan alasan waktu tempuh yang sangat singkat.


[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan ketujuh
edisi II, Balai Pustaka Jakarta, 1996, Halaman 45.

[2] Ridwan Khairandy, Machsun Tabroni, Ery Arifuddin dan Djohari Santoso, halaman 195.

[3] Lawalatta, Konosemen Dan Masalah Tanggung Jawab Pengangkut, Kumpulan Aspek-Aspek
Problem Maritim Niaga, Aksara Baru, Jakarta, 1982, halaman 8
[4] www.sumberilmuhukumangkutan.co.id
[5] Wiwoho Soedjono, Hukum Pengangkutan Laut di Indonesia dan perkembangannya, Liberty,
Yogyakarta, 1987, halaman 89.
[6]H.M.N. Purwosutjipto, SH. . Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jilid 5,
Djambatan, 1985, halaman 2.

[8] www.Lawcommunity.co.id
[9] Ibid, www.Lawcommunity.co.id

[10]  www.Materiku.co.id

3 komentar: