Minggu, 01 Januari 2012

Tinjauan Umum Pembuktian Pidana terhadap Alat Bukti Surat


Paton dalam bukunya A Textbook Jurisprudence menyatakan bahwa, “alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau material.” Alat bukti yang bersifat oral merupakan kata yang diucapkan seorang dalam pengadilan (keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa), artinya kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral. Alat bukti yang bersifat documentary adalah alat bukti surat atau alat bukti tertulis, sedang alat bukti yang bersifat material adalah alat bukti barang fisik yang tampak atau dapat dilihat selain dokumen/ alat bukti yang bersifat material (demonstrative evidence).
Hukum acara pidana di bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, dimana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan adalah alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu[1]:
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Definisi Surat Menurut Ahli dan KUHAP
Sebelum masuk dalam pembatasan pemahaman alat bukti surat, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu surat. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, surat adalah “kertas yang tertulis (dengan berbagai isi maksudnya)[2].” Selanjutnya beberapa ahli memberikan definisi surat sebagai berikut.
Menurut Sudikno Mertokusumo:

”Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.”
Menurut Asser-Anema yang dikutip oleh Andi Hamzah, “surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran[3].” Selanjutnya menurut Pitlo, yang termasuk surat adalah segala sesuatu yang mengandung buah pikiran atau isi hati seseorang. Dengan demikian potret atau gambar tidak dapat dikatakan sebagai surat karena tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran[4].
Pengertian surat menurut KUHAP adalah surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 187 KUHAP, yaitu yang dibuat atas sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah, yaitu:
1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Jadi pada dasarnya surat yang termasuk dalam alat bukti surat yang disebut disini ialah “surat resmi” yang dibuat oleh “pejabat umum” yang berwenang membuatnya. Surat resmi dapat bernilai sebagai alat bukti dalam suatu perkara pidana apabila:
  1. Memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh pejabat itu sendiri.
b. Disertai dengan alasan yang jelas dan tegas mengenai keterangannya itu.[5]
2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Jenis surat ini dapat dikatakan hampir meliputi segala jenis surat yang dibuat oleh pengelola administrasi dan kebijakan eksekutif. Contoh: Kartu Tanda Penduduk, Akta Keluarga, Akta Tanda Lahir, dan sebagainya.
3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Contoh: Visum Et Repertum dari Ahli Kedokteran Kehakiman.
4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari surat alat pembuktian lain (surat pada umumnya). Contoh: buku harian seorang pembunuh yang berisi catatan mengenai pembunuhan yang pernah ia lakukan.


[1] Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76, TLN. 3209 Tahun 1981, ps.184
[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 1108
[3] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Edisi Revisi, cet.3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 271.
[4] Martiman Prodjohamdjo, Sistem Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 24.
[5] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, cet.6, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal 306.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar