BAB II
PEMBAHASAAN
Realita
Peradilan Adat di Indonesia
Unifikasi sistem hukum Indonesia
yang dibangun berdasarkan alasan kepastian hukum serta kepentingan
kemudahan dalam penyelenggaraannya, seakan harga mati yang
tidak dapat ditawar-tawar. Hal ini dapat dilihat
kasat mata di setiap napas peraturan
perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang tidak memberi ruang gerak kepada peradilan adat untuk menunjukan nilai-nilai keadilan
substantifnya. Penyeragaman dalam
pembentukan, penerapan serta penegakannya ini, semakin berdiri angkuh dengan segala keadilan normatif yang terkandung di dalamnya
seperti yang terpancar dari setiap
bunyi bab serta
pasal-pasal yang terkodifikasi
dengan rapi. Pemaksaan unifikasi yang mengharamkan keberagaman
di negara ini, sesungguhnya telah
merenggut peradilan adat dari habitat
sesungguhnya yaitu masyarakat adat.
Sehingga kehancuran sistem asli masyarakat adat terjadi hampir di semua komunitas adat di negeri
ini.
Di Kalimantan Barat
saja kepunahan praktek
peradilan adat akibat
intervensi negara telah mendekati titik nadir. Sistem
pemerintahan asli yang mendukung praktek peradilan adat seperti Kampong di kabupaten Sanggau, Banua
di Ketapang serta Menua di Dayak Iban dan Titing di masyarakat Dayak Punan Uheng Kereho kabupaten
Kapuas Hulu menjadi hilang, sebagai akibat keluarnya peraturan dan kebijakan negara yang tidak berpihak. Peraturan dan kebijakan anti peradilan adat
ini secara pasti berdampak
terhadap hilangnya kuasa para Kepala Adat dan para Temenggung, karena dengan adanya
penyeragaman tersebut tugas dan
fungsinya sebagai satu-kesatuan
dari sistem hukum adat tergantikan
oleh aparatus desa.
Yang Utama Dari Peradilan Adat
keberadaan dan praktek peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung dalam waktu yang lama.Mungkin seusia dan sejalan
dengan sejarah dan perkembangan
keberadaan
kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami wilayah
nusantara ini. Prof Hilman Hadi kusuma memastikan, bahwa jauh sebelum agama Islam
masuk ke Indonesia, negeri yang memiliki keragaman ini telah lama melaksanakan tertib peradilannya2.
Bahkan menurut
keterangan beberapa masyarakat yang menjadi
pelaku peradilan adat, sebelum masuk dan dikenalnya agama kristen dan hukum gereja,
praktek peradilan secara adat ini telah menjadi satu-satunya proses untuk menyelesaiakan sengketa. Sebagai masyarakat yang pada waktu itu masih terdiri dari persekutuan-persekutuan kecil,
dengan kedudukannnya yang otonom,
mempunyai sistem pemerintahan, harta kekayaan dan sistem hukum sendiri serta kewenangan untuk menyelesaiakan perselisihan antar warganya dengan menegakkan hukum adatnya. Meskipun istilah yang digunakan pada waktu itu bukan
pengadilan atau peradilan, hakikatnya tetap pada misi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Tujuan dari penyelesaian mesalah tersebut diutamakan untuk pencapaian
cita-cita dan tujuan dari masyarakat tersebut, yaitu ketentraman dan kedamaian melalui penciptaan harmoni dengan sesama,
dengan alam dan dengan sang pencipta. Dengan demikian
tujuan dari proses penyelesaian sengketa
tidak saja ditujukan untuk menegakkan keadilan, tetapi jauh lebih dari itu. Penggunaan istilah ini tidak berarti, bahwa proses yang dipraktekkan itu sama sekali
tidak memperhatikan aspek
keadilan seperti yang dipersepsikan oleh hukum modern.
Meskipun demikian kewenangan dari hakim peradilan
adat tidak semata-mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus
semua silang sengketa dalam semua bidang hukum yang tida terbagai
kedalam pengertian pidana, perdata,
publik, dan lain-lain. Dalam statusnya yang demikian peradilan adat selalu didasarkan pada asas kerukunan, keselarasan dan kepatutan untuk hasil dan proses penyelesaian yang bisa diterima
semua pihak. Anutan
asas ini menegaskan bahwa proses peradilan adat dibimbing oleh nilai-nilai yang bersifat
sosiologik.
Karena itu pilihan
metode musyawarah dalam setiap proses
sidang adat menjadi bisa dipahami. Karena hanya dengan
proses ini sidang adat bisa sampai pada keputusan yang bisa diterima oleh para pihak.
Gambaran Kekinian Peradilan Adat di Berbagai
Tempat Proses intervensi dan penundukan sistem peradilan adat yang berlangsung lama, seperti yang digambarkan diatas,
ternyata belum berhasil
sama sekali meminggirkan praktek
ini dari keseharian masyarakat. Dibanyak komunitas,
proses ini masih berjalan
hingga sekarang. Kenyataan
ini dengan sendirinya menjadi bukti, betapa kemampuan bertahan
dari sistem ini sungguh sangat
luar biasa. Luar biasa, karena upaya dan strategi pemberangusannya demikian sistemik. Sistemik, karena ruangnya tidak hanya berada
pada aras kebijakan, tetapi sekaligus juga pada aras yang lain, yaitu tindakan-tindakan nyata di lapangan komunitas pemangkunya. Di bawah tekanan seperti ini, peradilan
adat masih bisa membuktikan eksistensinya. Pensikapan
masyarakat terhadap sistem nilai yang dimilikinya, sepertinya menjadi jawaban kunci terhadap situasi ini. Seterencana apapun proses penundukan yang dilakukan, sepanjang masyarakat yang menjadi
warga dari komunitas
tersebut secara sadar mau menggunakan sistem yang dimilikinya, maka sedikit-banyaknya pengaruh buruk dari proses intervensi bisa diredakan. Bila dilihat pengalaman beberapa komunitas
yang hingga saat ini masih mempraktekkannya, penerimaan dan kepercayaan warga
komunitas inilah yang menjadi energi
dasar bagi tetap eksisnya proses tersebut
dilingkungan mereka. Secara kelembagaan, struktur
peradilan adatnya sangat tergantung dengan
sistem sosial komunitas
masyarakat adat yang bersangkutan. Di Kampung Datar Ajab
misalnya, kampung yang menjadi wilayah
pemukiman Dayak Meratus
ini, didapati 4 (empat) Balai yaitu Balai Adat Agung Mula Ada, Balai Adat Tambun
Batu, Balai Adat Matinjau dan Balai Adat Muanjal Pajat.
Permasalahan yang terjadi (baik antar Balai maupun dengan orang laur) dan pelanggaran adat lainnya
menjadi urusan tetua adat, untuk
menyelesaiknnya dalam lingkup
balai secara musyawarah, untuk
menemukan kesepakatan mengenai
kesalahan dan bentuk hukumannya. Musyawarah ini sendiri dihadiri
olah tokoh adat dan pengurus lembaga adat. Dalam
prakteknya, bentuk hukumannya antara lain adalah
bayar pamali (parabia) sebagai denda, diasingkan dari balainya, pembalasan seperti kesalahannnya dan bayar nyawa.
Penjatuhan hukuman ini didasarkan pada kesalahan serta pertimbangan si
korban dan pelaku Prosesnya sendiri
berawal dari adanya laporan/pengaduan kepada kepala adat. Laporan ini ditindak lanjuti dengan
mengundang kepala adat, penghulu adat dan tokoh adat untuk memusyawarahkan langkah-langkah penyelesaian. Selanjutnya dilaksanakan pemeriksaan pihak yang terkait
dengan kasus tersebut
(pelaku dan korban) serta mencari keterangan dari masyarakat. Dengan memahami duduk persoalan berdasarkan pemeriksan tersebut,
diselenggarakan rapat adat yang
dihadiri oleh masyarakat banyak Di Rejang Lebong
kasus yang bisa diselesaikan diperadilan adat adalah pelanggaran
atas adat kampung serta hal-hal
lain yang telah diizinkan oleh pihak
yang berwenang. Prosesnya sendiri dimulai dengan
apa yang dinamakan proses kantor (saat ini dilakukan oleh kepala desa dan perangkatnya) untuk memperoleh keterangan dan bukti-bukti. Selanjutnya kepala desa meminta diselenggrakannya persidangan
adat untuk mengajukan pelaku, barang bukti dan saksi-saksi. Persidangan berlangsusng dibawah pimpinan Ketua
Kutai. Dalam mengambil keputusan atau menjatuhkan hukuman, Ketua Kutai ini dibantu oleh Ketua Syara’
dan Ketua Adat.Di daerah Kei Maluku Tenggara
dikenal hukum Larwur Ngabal yang berlaku di seluruh wilayah Kei. Saat ini Larwur Nagabal
ini terdiri dari tiga ketentuan hukum, yaitu: Nevnev, yang terdiri
dari tujuh pasal ketentuan yang melarang
pikiran, perkataan dan tindakan yang menyakiti, mencelakai, menghancurkan dan mematikan manusia; Hanilit, yang terdiri dari tujuh pasal
dan dua pasal tambahan tentang kesusilan, serta; Hawaer batwirin, yang terdiri dari tujuh pasal
mengenai kepemilikan Hukum ini menjadi
satu-satunya hukum sebelum
munculnya hukum agama dan negara yang ditegakkan oleh Raut (raja)
dan Soa (setingkat kadus), yang
kewenangan
penyelesaiannya didasarkan pada
berat-ringannya perkara.
Prosesnya sendiri berawal
dari laporan orang yang merasa haknya dilanggar
kepada pemimpin adat. Selanjutnya pemimpin
adat menghubungi pihak-pihak
yang berperkara dan menentukan hari persidangan. Pada waktu persidangan
pihak-pihak
yang berperkara hadir
dengan saksi masing-masing. Sidang
dipimpion oleh pemimpin
adat dengan didampingi Dewan Adat. Dalam perkara
pelanggaran
susila, perempuan hanya boleh diperiksa oleh beberapa perempuan
yang dituakan.
Dalam prakteknya, Larwur Ngabal mengandung dua sanksi, yakni sanksi
kebendaan atau hukum Delyoan dan hukum Kevhunin,
semacam hukum karma.
Sanksi inilah yang diyakini akan diterima oleh pihak yang mengelabui proses
persidangan,
sehingga berhasil lolos
dari sanksi kebendaan. Sanksi Kevhunin ini
tidak hanya berlaku
terhadap pihak-pihak yang terlibat perkara,
tetapi juga bagi
semua pihak yang ikut dalam proses persidangan
Di Maluku Utara,
struktur pelaksananya berada
pada raja(yang disebut
Kolano)
didampingi
oleh Babato Nyangimoi
Se Tufkange (Dewa Delapan Belas)
sebagai
penyusun UU atau hukum adat. Ada enam falsafah hukum (Kie Se Gam
Magogugu Matiti Rora) yang menjadi
sumber hukum, yaitu:
Adat Se Atorang
yaitu hukum dasar yang disusun
menurut kebiasaan yang dapat diterima
dan
dipatuhi oleh semua orang; Istiadat Se Kabasarang yaitu lembaga
adat dan
kekuasaan menurut ketentuan; Galib se Lukudi yaitu kebiasaan lama yang
menjadi pegangan; Ngale Se Duhu yaitu bentuk budaya masing-masing suku
bangsa dapat digunakan
bersama sesuai keinginan; Sere se Doniru yaitu tata
kehidupan seni budaya
dan kebiasaan yang timbul dalam
pergulan masyarakat
yang dapat diterima; Cing se Cingare yaitu pria dan wanita sebagai pasangan yang
utuh dengan hak dan kewajiban masing-masing
Sedangkan di Kalimantan Barat proses penyelesaian masalah dimulai dari tingkat
bawah. Jika pada tingkatan ini menemui
kegagalan, maka Timanggung melakukan
pemeriksaan
berdasarkan dokumentasi yang ada dari bawah. Yang berperkara
diambil sumpah ringan,
yang bertujuan agar pihak-pihak tidak
berniat mengejar
keuntungan.
Para pihak bisa mencari siapa yang mendampingi mereka didalam
persidangan,
biasanya berasal dari pemuka masyarakat di wilayah yang
bersangkutan.
Hasil pemeriksaan didikusikan oleh semua pihak
dan setelah diperoleh suara bulat,
Timannggung menetapkan dendanya.
Bila hukuman ini
tidak dipenuhi, maka yang bersangkutan disuruh memilih untuk
menempuh
proses perdilan formal atau dikeluarkan dari
perlindungan adat
Dari berbagai contoh
proses di atas, nyata sekali musyawarah menjadi
model
umum dan yang utama dalam
proses sidang adat.
Ini berarti institusi
peradilan
adat, tidak hadir
dengan misi utama
untuk menjadi sarana
pemaksa. Ia
memainkan peran
mediator untuk rekonsiliasi dan konsolidasi para pihak, melalui
proses penemuan putusan
yang melegakan semua
pihak, termasuk masyarakat
umum dari komunitasnya yang tidak terkait
langsung dengan kasus tersebut.
Model penyelesaian sengketa
dengan metode musyawarah tersebut, membuat
peradilan adat lolos dari perangkap putusan yang tidak
bisa dijalankan. Karena
prinsipnya,
putusan diambil secara sukarela oleh para pihak. Tidak ada
kecurigaan dan prasangka terhadap keputusan yang diambil. Karena
semua
prosenya dilakukan secara
terbuka yang memungkinkan semua pihak
menyampaikan
seluruh informasi secara
bebas, tanpa harus memikirkan aspek
formal.
Urgensi Pengakuannya Dalam Upaya Pemenuhan
Keadilan
Jamak diketahui, bahwa sejumlah problema
menjerat sistem peradilan
negara
untuk mencapai visi penegakan keadilannya. Prosesnya yang formalistik, berbelit
sehingga mahal, kian mengaburkan capain visi keadilannya. Katiadaan peraturan
perundang-undangan sebagai satu-satunya norma yang menjadi ukuran sengketa
juga merupakan problema
lain, yang kian mengurangi sifat fungsional sistem
peradilan negara. Peradilan
adat sangat mungkin bisa keluar dari jebakan-jebakan
tersebut. Prosesnya yang tidak formal
memungkinkan semua hal yang terkait
dengan sengketa bisa mengemuka. Lokus institusinya yang berada di komunitas
sendiri, memudahkan para
pihak untuk menjangkaunya tanpa harus
mengeluarkan
biaya mahal. Pengetahuan hakim adat terhadap
kasus tersebut,
menghindarkannya dari proses yang berbelit. Proses
pngambilan keputusnnya
yang berdasarkan musyawarah menghindarkan keputusan yang tidak diterima,
sehingga bisa meminimalkan proses banding. Meski tidak didasarkan pada
ketersediaan
aturan tertulis, hampir
semua sengketa yang terjadi di masyarakat
bisa diselesaikan, karena
diukur dengan asas keselarasan, kerukunan dan
kepatutan. Asas yang tidak mendapat tempat di
dalam sistem peradilan formal
Sejumlah kelemahan yang saat ini ditemukan pada peradilan adat,
lebih
disebabkan
karena tidak adanya
pengakuan negara terhadap
eksistensinya.
Kepercayaan
masyarakat yang tidak lagi total terhadapnya dan pilihan anggota
komunitas pada alternatif penyelesaian yang lain, lebih disebabkan karena
tiadanya penerimaan negara dan sistem hukumnya terhadap
peradilan adat ini.
Bila kehadirannya diterima
dan diakui oleh negara, kepercayaan dan keterikatan
anggota komunitas terhadapnya, dipastikan akan kembali menguat. Bila demikian, maka pengakuan peradilan adat ini dalam sistem peradilan
nasional, tidak saja
akan berkonstribusi terhadap
pengurangan beban perkara
di pengadilan formal.
Selain menyumbang pada pembaruan hukum
dengan tidak semata-mata
mendasarkannya pada ketersediaan perundang-undangan, pengakuan
ini juga
akan semakin meningkatkan kolektivitas warga komunitas
untuk mengurus
dirinya secara otonom.
PERBEDAAN ANTARA SISTEM HUKUM ADAT
DENGAN SISTEM HUKUM BARAT
Antara
sistem hukum adat dan sitem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan yang
fundamental, misalnya:
I.
Hukum
Barat mengenal “zakelijke rechten” dan “persoonlijke rechten”.“Zakelijke
rechten” adalah hak atas benda yang bersifat “zakelijk” artinya berlaku
terhadap tiap orang. Jadi merupakan hak mutlak atau absolut. “Persoonlijke
rechten” adalah hak atas sesuatu obyek (benda) yang hanya berlaku terhadap
sesuatu orang lain tertentu, jadi merupakan hak relatif.Hukum adat tidak
mengenal pembagian hak dalam dua golongan seperti tersebut di atas, hak-hak
menurut sistem hukum adat perlindungannya ada di tangan hakim. Hakim di dalam
sengketa yang dihadapinya wajib mempertimbangkan berat-ringannya
kepentingan-kepentingan hukum yang saling bertentangan serta berhadapan itu.
II.
Hukum
Barat mengenal perbedaan antara hukum publik dengan hukum privat.
Hukum adat tidak mengenal perbedaan ini. Kalau toh mau mengadakan pemisahan antara hukum adat yang bersifat publik dan hukum adat yang hanya mengenai lapangan privat saja, maka batasantara kedua lapangan itu di dalam hukum adat adalah berlainan.
Hukum adat tidak mengenal perbedaan ini. Kalau toh mau mengadakan pemisahan antara hukum adat yang bersifat publik dan hukum adat yang hanya mengenai lapangan privat saja, maka batasantara kedua lapangan itu di dalam hukum adat adalah berlainan.
III.
Hukum
Barat membedakan pelanggaran-pelanggaran hukum dalam dua golongan.
yaitu pelanggaran yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh hakim pidana, dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan perdata saja serta yang diadili oleh hakim Perdata.Hukum adat tidak mengenal perbedaan demikian. Tiap pelanggaran hukum adat membutuhkan pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala adat) memutuskan upaya adat (adat reaksi) apa yang harus digunakan untuk memulihkan kembali hukum yangdilanggar itu.Perbedaan-perbedaan fundamental dalam sistem ini, pada hakikatnya disebabkan karena:
yaitu pelanggaran yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh hakim pidana, dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan perdata saja serta yang diadili oleh hakim Perdata.Hukum adat tidak mengenal perbedaan demikian. Tiap pelanggaran hukum adat membutuhkan pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala adat) memutuskan upaya adat (adat reaksi) apa yang harus digunakan untuk memulihkan kembali hukum yangdilanggar itu.Perbedaan-perbedaan fundamental dalam sistem ini, pada hakikatnya disebabkan karena:
·
Corak
serta sifat yang berlainan antara hukum adat dan hukum Barat.
·
Pandangan hidup yang mendukung (“Volksgeist
menurut Von Savigny) kedua macam hukum itu juga jauh berlainan.
Sistem Hukum Adat
Sistem
hukum adat merupakan sistem hukum khas, yang bersifat religiomagiskomun,
kontant, dan konkret. Apabila sistem hukum adat diperbandingkan dengan sistem
hukum barat maka akan tampak perbedaan pokok sebagai berikut:
a.
SistemHukum Barat
- Menjunjung tinggi nilai
kondifikasi
- Memuat peraturan yang kasuistis
artinya merinci
- Hakim terikat penetapan darikodifikasi.
- Mengenal benda kebendaan,yaitu
hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang dan hak-hak perorangan yaitu
hak-hak atas suatu objek yang hanya berlaku terhadap seseorang tertentu
saja.
- Terdapat pembagian hukum dalam
hukum privat dan hukum publik.
- Dikenal perbedaan benda dalam
benda tetap dan benda bergerak
- Perlu adanya sanski sebagai
jaminan terlaksananya penertipan.
b. Sistem
Hukum Adat
- Tidak menghendaki kodifikasi
- Menyadarkanpada asas-asas hukum
saja artinya hanya mengatur dalam garis besar saja.
- Karena tidak ada penetapan yang
prae existence maka hakim diberi kebebasan leluasa
dalam mewujudkan keadilan yang
hidup dalam masryarakat karena hakimnya aktif.
- Hak-hak kebendaan dan
perorangan seperti itu tidak dikenal dalam hukum adat.
- Tidak dikenal pembagian seperti
itu
- Perbedaan benda seperti itu
tidak dikenal dalam hukum adat
- Dalam hukum adat tidak ada
ketentuan yang harus disertai syarat yang menjamin terlaksananya
ketertiban dengan jalan mempergunakan sanksi.
Peradilan Adat Aceh
Dalam sistem hukum di Indonesia, hukum Adat merupakan hukum
pelengkap, seperti juga hal di Aceh yang merupakan bagian daripada sistem hukum
Nasional, yang dalam berhubungan satu dengan lainnya tunduk kepada peraturan
perundang-undangan juga tunduk kepada ketentuan hukum Adat. Disamping kedua
norma tersebut dalam kehidupan bermasyarakat juga tunduk kepada ketentuan adat,
yang merupakan ciri khas di Aceh , hukum adat dan adat tersebut telah melembaga
semenjak masa kesultanan telah disesuaikan dengan filosofi hukum Islam “ Adat
bak po teumuruhom, hukom bak syiah kuala” sehinga sukar dibedakan
antara kaidah hukum adat/adat. Kekhasan tersebut menimbulkan minat yang kuat
dari masyaakat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan dasar hukum yang kuat
dalam perlakuan adat Aceh.
Memenuhi keinginan tersebut, dengan Keputusan Perdana
Menteri No. 1/Missi/1959 kepada Propinsi Aceh, diberi status sebagai Daerah
Istimewa dalam bidang peradatan, agama dan pendidikan, apa yang dimaksud dengan
peradatan adalah adat istiadat. Keputusan tersebut memberi wewenang yang lebih
besar kepada pemerintah Daerah untuk mengembangkan dan memberlakukan serta
mempertahankan Adat /adat istiadat dan lembaga lembaga dalam kehidupan
bermasyarkat di Aceh. Kemudian sebagai pelaksaan keputusan Pemerintah
mengeluarkan Peraturan Daerah no. 2 tahun 1990 tenang pembinaaan dan
pengembangan Adat Istiadat, kebiasaan Masyarakat beserta lembaga Adat di
Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dimana pengembangan dan pembinaan adat
diserahkan kepada Gampong dan Mukim serta lembaga-lembaga adat yang telah ada
maupun yang akan dibentuk.
Peraturan peraturan yang menyangkut tentang berlakunya adat
yang didasarkan pada Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Aceh yang menurut pasal 3 (2) meliputi :
- Penyelenggaraan
kehidupan beragama
- Penyelenggaraan
kehidupan adat;
- Penyelenggaraan
pendidikan
- Peran
ulama dalam penetapan kebijakan daerah;
Dalam hal penyelenggaraan kehidupan adat, dalam pasal 6
ditegaskan daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan,
pelestarian dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai
dan sesuai dengan Syari’at Islam kemudian ditetapkan pula peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2000 tentang
penyelenggaraan Kehidupan adat, kemudian di ikuti dengan Undang-undang 18 tahun 2001 tentang otonomi
khusus yang kemudian diganti
Undang-undang Pemerintahan Aceh dalam Bab Tentang Wali Nanggro dan Lembaga Adat,
kemudian Qanun nomor 4 tahun 2003
tentang pemerintahan Mukim dan Qanun Nanggro Aceh Darussalam nomor 5 tahun 2003
tentang Pemerintahan Gampong.
Dengan adanya peraturan/qanun tersebut telah memperkuat
untuk melaksanakan keistimean Aceh di Nanggro Aceh Darussalam, Dalam
perkembangannya, khusunya menyangkut tentang Peradilan Adat di Aceh, meskipun
tidak di jumpai nama –nama peradilan adat dalam penyelesaian di
gampong-gampong, pada kenyataannya orang –orang Aceh (Kuchik di Gampong) masih
menerapkan dan mempertahankan hukum adat menyangkut penyelesaian hukum adat
atau delik.
Wewenang dalam Peradilan Adat
Berdasarkan
Qanun Propinsi Nanggro Aceh Darussalam Nomor 3 tahun 2004 tentang
Pembentukan susunan dan tata kerja Majlis Adat Aceh/MAA yang
disebut dengan ;
- Hukum
adat
adalah Hukum adat Aceh yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Prop.
Daerah Aceh;
- Adat
istiadat
adalah aturan atau perbuataan yang bersendikan Syariat Islam yang lazim
dituruti, dihormati, dimulai sejak dahulu dan dijadikan sebagai landasan
hidup dalam masyarkat;
- Kebiasaan-kebiasaan adalah suatu kegiatan atau
perbuatan yang pada dasarnya bukan bersumber dari hukum adat atau adat
istiadat akan tetapi hal tersebut telah di akui oleh umum dan dilaksanakan
oleh umum dan telah dilaksnanakan secara berulang-ulang;
- Peradilan
Adat gampong
adalah peradilan perdamaian melalui musyawarah mufakat yang dipimpin oleh
keuchik dengan anggota Tengku Munasah dan tuha Peut gampong;
- Peradilan
adat mukim
adalah peradilan perdamaian melakukan musyawarah mufakat yang dipimpin
oleh imum Mukim dengan anggota imum syik dan para tuha peut mukim;
Dalam pasal 3, Majelis Adat Aceh mempunyai
wewenang;
·
Mengkaji
dan menyusun rencana penyelenggaraan kehidupan adat
·
Membentuk
dan mengukuhkan lembaga adat
·
menyampaikan
saran dan pendapat kepada pemerintah dalam kaitannya dengan penyelenggaraan
kehidupan adat diminta maupun tidak diminta;
Dalam pasal 5, fungsi M A A :
- Meningkatkan
pemeliharaan, pembinaan dan menyebarluaskan adat istiadat dan hukum adat
dalam masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari adat Indonesia;
- Meningkatkan
kemapuan tokoh adat yang profesional sesuai dengan keadaan dan kebutuhan
masyarkat Daerah;
- Meningkatkan
penyebarluasan adat Aceh ke dalam masyaarkat melalui keuruja udep dan
keuruja maate, penampilan kreatifitas dan mes media;
- Menyelenggarakan
pembianaan dan pengembangan fungsi Peradilan adat Gampong dan Peradilan
Adat Mukim;
- Mengawai
penyelenggaraan adaat istiadat dan hukum adat supaya tetap sesuai dengan
Syariat Islam;
- Meningkatkan
kerja sama dengan berbagai pihak, perorangan maupun badan-badan yang ada
kaitannya dengan maslah adat Aceh khususnya, baik di dlam maupun diluar
negeri sejauh tidak bertentangan dengan agama, adat istiadat dan
perundang-undangan yang berlaku;
- Menyusun
risalah risalah untuk menjadi pedoman tentang adat;
- Ikut
serta dalam setiap penyelenggaraan pekan Kebudayaan Aceh Propinsi dan
kabupaten/kota
- Mengusahakan
perwujudan maksud dan makna falsafah hidup dalam masyarakat sesuai dengan
adat bak poutumuruhom hukom bak syiah kuala qanun bak putro phang resam
bak laksamana;
Penyelesaian Sengketa adat;
Pasal 10 Perda nomor 7 tahun 2000 menyebutkan :
Aparat
penegak hukum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada geuchik dan imum mukim
untuk menyelesaikan sengketa-sengketa/perselisihan di gampong/mukim masing.
Pasal 11
- Geuchik
berwenang untuk menyelesaikan perselisihan persengketaan/permasalahan yang
terjadi di Gampong,baik masalah masalah sosial yang timbul di masyarakat
dalam suatu rapat Adat Gampong;
- Apabila
dalam jangka waktu 2 bulan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan
di gampong atau para pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan
adat tingkat Geuchik, maka perselisihan sengketa tersebut diselesaikan
oleh imum Mukim dalam rapat adat Mukim;
Pasal 12
- Rapat
adat Gampong dipimpin oleh Geuchik dan Teungku Gampong (imum Meunasah) dan
dibantu oleh sekretaris Gampong dan Tuha Peut/tuha lapan Gampong;
- Rapat
adat mukim dipimpin oleh imum mukim dibantu oleh serektaris mukim serta di
hadiri oleh seluruh anggota tuha peut/tuha lapan mukim;
Pasal
14
1.
Segala
perselisihan dan persengketaan yang telah didamaikan di oleh Geuchik gampong
dan imum mukim dalam suatu rapat Adat bersifat mengikat pihak-pihak yang
berselisih/bersengketa
2.
para
pihak yang tidak mengindahkan keputusan adat tingkat geuchik atau imum Mukim ia
akan dikenakan sanksi adat yang lebih berat oleh karena merusak kata
kesepakatan dan menganggu keseimbangan yang hidup dlam masyarakat
pasal
15
- Apabila
dalam jangka waktu 1 bulan Imum Mukim tidak dapat menyelesaikan atau para
pihak yang berselisih/bersengketa merasa tidak puas terhadap keputusan
adat tingkat mukim, maka ia dapat mengajukan perkaranya kepada aparat
penegak hukum;
- Keputusan
Adat yang telah dijatuhkan kepada pihak-pihak yang bersengketa dapat
dijadikan salah saatu pertimbangan oleh aparat penegak hukum dalam
menyelesaikan perkara.
Pasal
16
Tata cara dan syarata-syarat penyelesaian
perselisihan/persengkartaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat di
masing-masing daerah Kbupaaten/kota/kecamatan/mukim dan Gampong.
Pasal
17
Dalam penyelesaian perkara di Pengadilan, Geuchik dan Imum
Mukim dapat dijadikan saksi ahli dalam perkara-perkara dimaksud, sepanjang
perkara tersebut telah diputuskan oleh rapat Adat yang bersangkutan.
Pasal
18
Tiap-tiap penyelesaian sengketa oleh Geuchik dan Imum Mukim
dibuat Berita Acara dan dituangkan dalam keputusan serta di umumkan kepada
Masyarakat.
Selain
itu menurut penelitian dari unsyiah dan kerja sama dengan Propinsi Nad pada
tahun 2002, oleh tim Prof. Dahlan, Prof T. Djuned Sh dkk, di Aceh juga dikenal
dengan Peradilan Panglima Laot. Dimana fungsionaris terdiri dari;
1.
Pimpinan sidang adalah Panglima laot.
2.
Anggota sidang terdiri dari ; Pawang laot ;b. Salah seorang dari ; Tgk. Imum, atau
Keuchik; atau Imum mesjid.
Adapun
jenis perkara yang diselesaikan adalah :
- Semua
perkara pelanggaran adat laot
- Perkara
pidana kecil, seperti perkelahian dan penghinaan di wilayah laot;
Sifat
dari pada putusan adalah memaksa, putusan dijatuhakan berdasarkan ;
- larangan
melaut dalam jumlah hari tertentu bagi boet/orang yang dipersalahkan dan
dijatuhi sanksi adat.
- Penyitaan
dan pelelangan hasil tangkapan seta perampasan uang hasil pelelangan oleh
peradilan.
Pelanggaran Adat
Dalam
masyarakat hukum adat, perbuatan delik adat dapat diperhatikan pada
tingkatan-tingkatan pelanggaran yang dilakukan seperti :
- tindakan-tindakan
pelanggaran hukum adat merupakan perbuatan yang bertentangan dengan
peraturan hukum adat.
- Hukum
adat tidak mengadakan perbedaan antara hukum pidana dengan hukum perdata
tapi semuanya termasuk satu katagori yaitu perbuatan yang bertentangan
dengan hukum adat setempat.
- Petugas
hukum tidak selalu mengambil inisiatif dalam setiap pelanggaran
- Dalam
persekutuan hukum, petugas wajib bertindak apabila pelanggaran hukum adat
mengenai kepentingan umum.
Sistem hukum adat hanya mengenal satu prosudur dalam hal
penuntutan yaitu baik perdana maupun perdata. Petugas hukum yang berwenang
untuk mengambil tindakan-tingdakan konkrit/reaksi adat guna membetulkan hukum
yang di langgar tidak seperti sistem hukum barat, yaitu hakim pidana untukm
perkara pidana dan hakim perdata untuk hakim perdata. Dalam hukum adat dikenal
ada satu pejabat yaitu kepala Desa.
Dalam
kehidupan masyarkat Aceh, hakim adat/hakim perdamaian desa /gampong, dalam
menyelesaikan suatu perkara harus cukup syarat-sayarat hukumnya.
- Kalau
menimbang harus sama berat
- Kalau
mengukur harus sama Panjang
- Tidak
boleh berpihak-pihak
- Lurus,
patut, dan benar menjadi pegangan
- Benar
menurut kehendak adat dan syarak
Dalam
hal pidana adat, hakim perdamaian desa juga berwenang mengadili dan menghukum
orang tersebut untuk menyelenggarakan upaya-upaya adat seperti :
- Meminta
maaf secara adat
- Membuat
selamatan/kenduri
Urusan
pengadilan seluruhnya didasarkan pada sistem yang berlaku dalam organisasi
pemerintahan Aceh, sengketa-sengketa kecil/pelanggaran adat yang biasanya
diselesaikan oleh Teungku Imum Meunasah dengan didampingi seorang tetua bidang
keagamaan.
Sengketa-senketa
tersebut diselesaikan dengan suatu keputusan yang dinamai Peujroh
ghob/Meusapat. Begitu juga terhadap pencurian dikembalikan kepada pemiliknya
atau menggantikan harga dan yang bersangkutan meminta maaf, begitu juga dengan
tagihan-tagihan perdata, dpat dilakukan dengan permintaan maaf.
Pasal 19 Perda 7 tahun 2000 Jenis – jenis Penyelesaian sengketa
dan sanksi yang dapat dijatuhkan sebagai berikut :
- Nasihat.
- Teguran.
- Pernyataan
maaf dihadapan orang banyak di Meunasah atau mesjid, diiukti dengan acara
peusijuk.
- Denda;
dalam arti penyediaan makanan untk makan bersama
- Ganti
kerugian
- Dikucilkan
oleh masyarakat Gampong/ han roeh saho
- Dikeluarkan
dari masyarkat Gampong.
- Pencabutan
gelar adat.
- Dll.
Sesuai dengan adat setempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar