Minggu, 01 Januari 2012

Peradilan adat bagi masyarakat adat


BAB II
PEMBAHASAAN


Realita Peradilan Adat di Indonesia
Unifikasi sistem hukum Indonesia yang dibangun berdasarkan alasan kepastian hukum serta kepentingan kemudahan dalam penyelenggaraannya, seakan harga mati yang tidak dapat ditawar-tawar. Hal ini dapat dilihat kasat mata di setiap napas peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah, yang tidak memberi ruang gerak kepada peradilan adat untuk menunjukan nilai-nilai keadilan substantifnya. Penyeragaman dalam pembentukan, penerapan serta penegakannya ini, semakin berdiri angkuh dengan segala keadilan normatif yang terkandung di dalamnya seperti yang terpancar dari setiap bunyi bab serta pasal-pasal yang terkodifikasi dengan rapi. Pemaksaan unifikasi yang mengharamkan keberagaman di negara ini, sesungguhnya telah merenggut peradilan adat dari habitat sesungguhnya yaitu masyarakat adat. Sehingga kehancuran sistem asli masyarakat adat terjadi hampir di semua komunitas adat di negeri ini.
Di Kalimantan Barat saja kepunahan praktek peradilan adat akibat intervensi negara telah mendekati titik nadir. Sistem pemerintahan asli yang mendukung praktek peradilan adat seperti Kampong di kabupaten Sanggau, Banua di Ketapang serta Menua di Dayak Iban dan Titing di masyarakat Dayak Punan Uheng Kereho kabupaten Kapuas Hulu menjadi hilang, sebagai akibat keluarnya peraturan dan kebijakan negara yang tidak berpihak. Peraturan dan kebijakan anti peradilan adat ini secara pasti berdampak terhadap hilangnya kuasa para Kepala Adat dan para Temenggung, karena dengan adanya penyeragaman tersebut tugas dan fungsinya sebagai satu-kesatuan dari sistem hukum adat tergantikan oleh aparatus desa.

Yang Utama Dari Peradilan Adat
            keberadaan dan praktek peradilan adat di Indonesia sudah berlangsung dalam waktu yang lama.Mungkin seusia dan sejalan dengan sejarah dan perkembangan keberadaan kelompok-kelompok masyarakat yang mendiami wilayah nusantara ini. Prof    Hilman Hadi kusuma memastikan, bahwa jauh sebelum agama Islam masuk ke Indonesia, negeri yang memiliki keragaman ini telah lama melaksanakan tertib peradilannya2.
            Bahkan menurut keterangan beberapa masyarakat yang menjadi pelaku peradilan adat, sebelum masuk dan dikenalnya agama kristen dan hukum gereja, praktek peradilan secara adat ini telah menjadi satu-satunya proses untuk menyelesaiakan sengketa. Sebagai masyarakat yang pada waktu itu masih terdiri dari persekutuan-persekutuan kecil, dengan kedudukannnya yang otonom, mempunyai sistem pemerintahan, harta kekayaan dan sistem hukum sendiri serta kewenangan untuk menyelesaiakan perselisihan antar warganya dengan menegakkan hukum adatnya. Meskipun istilah yang digunakan pada waktu itu bukan pengadilan atau peradilan, hakikatnya tetap pada misi untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Tujuan dari penyelesaian mesalah tersebut diutamakan untuk pencapaian cita-cita dan tujuan dari masyarakat tersebut, yaitu ketentraman dan kedamaian melalui penciptaan harmoni dengan sesama, dengan alam dan dengan sang pencipta. Dengan demikian tujuan dari proses penyelesaian sengketa tidak saja ditujukan untuk menegakkan keadilan, tetapi jauh lebih dari itu. Penggunaan istilah ini tidak berarti, bahwa proses yang dipraktekkan itu sama sekali tidak memperhatikan aspek keadilan seperti yang dipersepsikan oleh hukum modern.
 Meskipun demikian kewenangan dari hakim peradilan adat tidak semata-mata terbatas pada perdamaian saja, tetapi juga kekuasaan memutus semua silang sengketa dalam semua bidang hukum yang tida terbagai kedalam pengertian pidana, perdata, publik, dan lain-lain. Dalam statusnya yang demikian peradilan adat selalu didasarkan pada asas kerukunan, keselarasan dan kepatutan untuk hasil dan proses penyelesaian yang bisa diterima semua pihak. Anutan asas ini menegaskan bahwa proses peradilan adat dibimbing oleh nilai-nilai yang bersifat sosiologik. Karena itu pilihan metode musyawarah dalam setiap proses sidang adat menjadi bisa dipahami. Karena hanya dengan proses ini sidang adat bisa sampai pada keputusan yang bisa diterima oleh para pihak.
Gambaran Kekinian Peradilan Adat di Berbagai Tempat Proses intervensi dan penundukan sistem peradilan adat yang berlangsung lama, seperti yang digambarkan diatas, ternyata belum berhasil sama sekali meminggirkan praktek ini dari keseharian masyarakat. Dibanyak komunitas,
 proses ini masih berjalan hingga sekarang. Kenyataan ini dengan sendirinya menjadi bukti, betapa kemampuan bertahan dari sistem ini sungguh sangat luar biasa. Luar biasa, karena upaya dan strategi pemberangusannya demikian sistemik. Sistemik, karena ruangnya tidak hanya berada pada aras kebijakan, tetapi sekaligus juga pada aras yang lain, yaitu tindakan-tindakan nyata di lapangan komunitas pemangkunya. Di bawah tekanan seperti ini, peradilan adat masih bisa membuktikan eksistensinya. Pensikapan masyarakat terhadap sistem nilai yang dimilikinya, sepertinya menjadi jawaban kunci terhadap situasi ini. Seterencana apapun proses penundukan yang dilakukan, sepanjang masyarakat yang menjadi warga dari komunitas tersebut secara sadar mau menggunakan sistem yang dimilikinya, maka sedikit-banyaknya pengaruh buruk dari proses intervensi bisa diredakan. Bila dilihat pengalaman beberapa komunitas yang hingga saat ini masih mempraktekkannya, penerimaan dan kepercayaan warga komunitas inilah yang menjadi energi dasar bagi tetap eksisnya proses tersebut dilingkungan mereka. Secara kelembagaan, struktur peradilan adatnya sangat tergantung dengan sistem sosial komunitas masyarakat adat yang bersangkutan. Di Kampung Datar Ajab misalnya, kampung yang menjadi wilayah pemukiman Dayak Meratus ini, didapati 4 (empat) Balai yaitu Balai Adat Agung Mula Ada, Balai Adat Tambun Batu, Balai Adat Matinjau dan Balai Adat Muanjal Pajat. Permasalahan yang terjadi (baik antar Balai maupun dengan orang laur) dan pelanggaran adat lainnya menjadi urusan tetua adat, untuk menyelesaiknnya dalam lingkup balai secara musyawarah, untuk menemukan kesepakatan mengenai kesalahan dan bentuk hukumannya. Musyawarah ini sendiri dihadiri olah tokoh adat dan pengurus lembaga adat. Dalam prakteknya, bentuk hukumannya antara lain adalah bayar pamali (parabia) sebagai denda, diasingkan dari balainya, pembalasan seperti kesalahannnya dan bayar nyawa. Penjatuhan hukuman ini didasarkan pada kesalahan serta pertimbangan si korban dan pelaku Prosesnya sendiri berawal dari adanya laporan/pengaduan kepada kepala adat. Laporan ini ditindak lanjuti dengan mengundang kepala adat, penghulu adat dan tokoh adat untuk memusyawarahkan langkah-langkah penyelesaian. Selanjutnya dilaksanakan pemeriksaan pihak yang terkait dengan kasus tersebut (pelaku dan korban) serta mencari keterangan dari masyarakat. Dengan memahami duduk persoalan berdasarkan pemeriksan tersebut, diselenggarakan rapat adat yang dihadiri oleh masyarakat banyak Di Rejang Lebong kasus yang bisa diselesaikan diperadilan adat adalah pelanggaran atas adat kampung serta hal-hal lain yang telah diizinkan oleh pihak yang berwenang. Prosesnya sendiri dimulai dengan apa yang dinamakan proses kantor (saat ini dilakukan oleh kepala desa dan perangkatnya) untuk memperoleh keterangan dan bukti-bukti. Selanjutnya kepala desa meminta diselenggrakannya persidangan adat untuk mengajukan pelaku, barang bukti dan saksi-saksi. Persidangan berlangsusng dibawah pimpinan Ketua Kutai. Dalam mengambil keputusan atau menjatuhkan hukuman, Ketua Kutai ini dibantu oleh Ketua Syara’ dan Ketua Adat.Di daerah Kei Maluku Tenggara dikenal hukum Larwur Ngabal yang berlaku di seluruh wilayah Kei. Saat ini Larwur Nagabal ini terdiri dari tiga ketentuan hukum, yaitu: Nevnev, yang terdiri dari tujuh pasal ketentuan yang melarang pikiran, perkataan dan tindakan yang menyakiti, mencelakai, menghancurkan dan mematikan manusia; Hanilit, yang terdiri dari tujuh pasal dan dua pasal tambahan tentang kesusilan, serta; Hawaer batwirin, yang terdiri dari tujuh pasal mengenai kepemilikan Hukum ini menjadi satu-satunya hukum sebelum munculnya hukum agama dan negara yang ditegakkan oleh Raut (raja) dan Soa (setingkat kadus), yang
kewenangan penyelesaiannya didasarkan pada berat-ringannya perkara.
Prosesnya sendiri berawal dari laporan orang yang merasa haknya dilanggar
kepada pemimpin adat. Selanjutnya pemimpin adat menghubungi pihak-pihak
yang berperkara dan menentukan hari persidangan. Pada waktu persidangan
pihak-pihak yang berperkara hadir dengan saksi masing-masing. Sidang
dipimpion oleh pemimpin adat dengan didampingi Dewan Adat. Dalam perkara
pelanggaran susila, perempuan hanya boleh diperiksa oleh beberapa perempuan
yang dituakan.
Dalam prakteknya, Larwur Ngabal mengandung dua sanksi, yakni sanksi
kebendaan atau hukum Delyoan dan hukum Kevhunin, semacam hukum karma.
Sanksi inilah yang diyakini akan diterima oleh pihak yang mengelabui proses
persidangan, sehingga berhasil lolos dari sanksi kebendaan. Sanksi Kevhunin ini
tidak hanya berlaku terhadap pihak-pihak yang terlibat perkara, tetapi juga bagi
semua pihak yang ikut dalam proses persidangan
Di Maluku Utara, struktur pelaksananya berada pada raja(yang disebut Kolano)
didampingi oleh Babato Nyangimoi Se Tufkange (Dewa Delapan Belas) sebagai
penyusun UU atau hukum adat. Ada enam falsafah hukum (Kie Se Gam
Magogugu Matiti Rora) yang menjadi sumber hukum, yaitu: Adat Se Atorang
yaitu hukum dasar yang disusun menurut kebiasaan yang dapat diterima dan
dipatuhi oleh semua orang; Istiadat Se Kabasarang yaitu lembaga adat dan
kekuasaan menurut ketentuan; Galib se Lukudi yaitu kebiasaan lama yang
menjadi pegangan; Ngale Se Duhu yaitu bentuk budaya masing-masing suku
bangsa dapat digunakan bersama sesuai keinginan; Sere se Doniru yaitu tata
kehidupan seni budaya dan kebiasaan yang timbul dalam pergulan masyarakat
yang dapat diterima; Cing se Cingare yaitu pria dan wanita sebagai pasangan yang
utuh dengan hak dan kewajiban masing-masing
Sedangkan di Kalimantan Barat proses penyelesaian masalah dimulai dari tingkat
bawah. Jika pada tingkatan ini menemui kegagalan, maka Timanggung melakukan
pemeriksaan berdasarkan dokumentasi yang ada dari bawah. Yang berperkara
diambil sumpah ringan, yang bertujuan agar pihak-pihak tidak berniat mengejar
keuntungan. Para pihak bisa mencari siapa yang mendampingi mereka didalam
persidangan, biasanya berasal dari pemuka masyarakat di wilayah yang
bersangkutan. Hasil pemeriksaan didikusikan oleh semua pihak dan setelah diperoleh suara bulat, Timannggung menetapkan dendanya. Bila hukuman ini
tidak dipenuhi, maka yang bersangkutan disuruh memilih untuk menempuh
proses perdilan formal atau dikeluarkan dari perlindungan adat
Dari berbagai contoh proses di atas, nyata sekali musyawarah menjadi model
umum dan yang utama dalam proses sidang adat. Ini berarti institusi peradilan
adat, tidak hadir dengan misi utama untuk menjadi sarana pemaksa. Ia
memainkan peran mediator untuk rekonsiliasi dan konsolidasi para pihak, melalui
proses penemuan putusan yang melegakan semua pihak, termasuk masyarakat
umum dari komunitasnya yang tidak terkait langsung dengan kasus tersebut.
Model penyelesaian sengketa dengan metode musyawarah tersebut, membuat
peradilan adat lolos dari perangkap putusan yang tidak bisa dijalankan. Karena
prinsipnya, putusan diambil secara sukarela oleh para pihak. Tidak ada
kecurigaan dan prasangka terhadap keputusan yang diambil. Karena semua
prosenya dilakukan secara terbuka yang memungkinkan semua pihak
menyampaikan seluruh informasi secara bebas, tanpa harus memikirkan aspek
formal.

Urgensi Pengakuannya Dalam Upaya Pemenuhan Keadilan
Jamak diketahui, bahwa sejumlah problema menjerat sistem peradilan negara
untuk mencapai visi penegakan keadilannya. Prosesnya yang formalistik, berbelit
sehingga mahal, kian mengaburkan capain visi keadilannya. Katiadaan peraturan
perundang-undangan sebagai satu-satunya norma yang menjadi ukuran sengketa
juga merupakan problema lain, yang kian mengurangi sifat fungsional sistem
peradilan negara. Peradilan adat sangat mungkin bisa keluar dari jebakan-jebakan
tersebut. Prosesnya yang tidak formal memungkinkan semua hal yang terkait
dengan sengketa bisa mengemuka. Lokus institusinya yang berada di komunitas
sendiri, memudahkan para pihak untuk menjangkaunya tanpa harus
mengeluarkan biaya mahal. Pengetahuan hakim adat terhadap kasus tersebut,
menghindarkannya dari proses yang berbelit. Proses pngambilan keputusnnya
yang berdasarkan musyawarah menghindarkan keputusan yang tidak diterima,
sehingga bisa meminimalkan proses banding. Meski tidak didasarkan pada
ketersediaan aturan tertulis, hampir semua sengketa yang terjadi di masyarakat
bisa diselesaikan, karena diukur dengan asas keselarasan, kerukunan dan
kepatutan. Asas yang tidak mendapat tempat di dalam sistem peradilan formal
Sejumlah kelemahan yang saat ini ditemukan pada peradilan adat, lebih
disebabkan karena tidak adanya pengakuan negara terhadap eksistensinya.
Kepercayaan masyarakat yang tidak lagi total terhadapnya dan pilihan anggota
komunitas pada alternatif penyelesaian yang lain, lebih disebabkan karena
tiadanya penerimaan negara dan sistem hukumnya terhadap peradilan adat ini.
Bila kehadirannya diterima dan diakui oleh negara, kepercayaan dan keterikatan
anggota komunitas terhadapnya, dipastikan akan kembali menguat. Bila demikian, maka pengakuan peradilan adat ini dalam sistem peradilan nasional, tidak saja
akan berkonstribusi terhadap pengurangan beban perkara di pengadilan formal.
Selain menyumbang pada pembaruan hukum dengan tidak semata-mata
mendasarkannya pada ketersediaan perundang-undangan, pengakuan ini juga
akan semakin meningkatkan kolektivitas warga komunitas untuk mengurus
dirinya secara otonom.



PERBEDAAN ANTARA SISTEM HUKUM ADAT DENGAN SISTEM HUKUM BARAT
Antara sistem hukum adat dan sitem hukum Barat terdapat beberapa perbedaan yang fundamental, misalnya:
       I.            Hukum Barat mengenal “zakelijke rechten” dan “persoonlijke rechten”.“Zakelijke rechten” adalah hak atas benda yang bersifat “zakelijk” artinya berlaku terhadap tiap orang. Jadi merupakan hak mutlak atau absolut. “Persoonlijke rechten” adalah hak atas sesuatu obyek (benda) yang hanya berlaku terhadap sesuatu orang lain tertentu, jadi merupakan hak relatif.Hukum adat tidak mengenal pembagian hak dalam dua golongan seperti tersebut di atas, hak-hak menurut sistem hukum adat perlindungannya ada di tangan hakim. Hakim di dalam sengketa yang dihadapinya wajib mempertimbangkan berat-ringannya kepentingan-kepentingan hukum yang saling bertentangan serta berhadapan itu.
    II.            Hukum Barat mengenal perbedaan antara hukum publik dengan hukum privat.
Hukum adat tidak mengenal perbedaan ini. Kalau toh mau mengadakan pemisahan antara hukum adat yang bersifat publik dan hukum adat yang hanya mengenai lapangan privat saja, maka batasantara kedua lapangan itu di dalam hukum adat adalah berlainan.
 III.            Hukum Barat membedakan pelanggaran-pelanggaran hukum dalam dua golongan.
yaitu pelanggaran yang bersifat pidana dan harus diperiksa oleh hakim pidana, dan pelanggaran-pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan perdata saja serta yang diadili oleh hakim Perdata.Hukum adat tidak mengenal perbedaan demikian. Tiap pelanggaran hukum adat membutuhkan pembetulan hukum kembali dan hakim (kepala adat) memutuskan upaya adat (adat reaksi) apa yang harus digunakan untuk memulihkan kembali hukum yangdilanggar itu.Perbedaan-perbedaan fundamental dalam sistem ini, pada hakikatnya disebabkan karena:
·         Corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat dan hukum Barat.
·          Pandangan hidup yang mendukung (“Volksgeist menurut Von Savigny) kedua macam hukum itu juga jauh berlainan.

Sistem Hukum Adat
Sistem hukum adat merupakan sistem hukum khas, yang bersifat religiomagiskomun, kontant, dan konkret. Apabila sistem hukum adat diperbandingkan dengan sistem hukum barat maka akan tampak perbedaan pokok sebagai berikut:
a. SistemHukum Barat
  1. Menjunjung tinggi nilai kondifikasi
  2. Memuat peraturan yang kasuistis artinya merinci
  3. Hakim terikat penetapan darikodifikasi.
  4. Mengenal benda kebendaan,yaitu hak-hak yang berlaku terhadap setiap orang dan hak-hak perorangan yaitu hak-hak atas suatu objek yang hanya berlaku terhadap seseorang tertentu saja.
  5. Terdapat pembagian hukum dalam hukum privat dan hukum publik.
  6. Dikenal perbedaan benda dalam benda tetap dan benda bergerak
  7. Perlu adanya sanski sebagai jaminan terlaksananya penertipan.
b. Sistem Hukum Adat
  1. Tidak menghendaki kodifikasi
  2. Menyadarkanpada asas-asas hukum saja artinya hanya mengatur dalam garis besar saja.
  3. Karena tidak ada penetapan yang prae existence maka hakim diberi kebebasan leluasa dalam       mewujudkan  keadilan yang hidup dalam masryarakat karena hakimnya aktif.
  4. Hak-hak kebendaan dan perorangan seperti itu tidak dikenal dalam hukum adat.
  5. Tidak dikenal pembagian seperti itu
  6. Perbedaan benda seperti itu tidak dikenal dalam hukum adat
  7. Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang harus disertai syarat yang menjamin terlaksananya ketertiban dengan jalan mempergunakan sanksi.

Peradilan Adat Aceh
Dalam sistem hukum di Indonesia, hukum Adat merupakan hukum pelengkap, seperti juga hal di Aceh yang merupakan bagian daripada sistem hukum Nasional, yang dalam berhubungan satu dengan lainnya tunduk kepada peraturan perundang-undangan juga tunduk kepada ketentuan hukum Adat. Disamping kedua norma tersebut dalam kehidupan bermasyarakat juga tunduk kepada ketentuan adat, yang merupakan ciri khas di Aceh , hukum adat dan adat tersebut telah melembaga semenjak masa kesultanan telah disesuaikan dengan filosofi hukum Islam “ Adat bak po teumuruhom, hukom bak syiah kuala” sehinga sukar dibedakan antara kaidah hukum adat/adat. Kekhasan tersebut menimbulkan minat yang kuat dari masyaakat dan Pemerintah Daerah untuk memberikan dasar hukum yang kuat dalam perlakuan adat Aceh.
Memenuhi keinginan tersebut, dengan Keputusan Perdana Menteri No. 1/Missi/1959 kepada Propinsi Aceh, diberi status sebagai Daerah Istimewa dalam bidang peradatan, agama dan pendidikan, apa yang dimaksud dengan peradatan adalah adat istiadat. Keputusan tersebut memberi wewenang yang lebih besar kepada pemerintah Daerah untuk mengembangkan dan memberlakukan serta mempertahankan Adat /adat istiadat dan lembaga lembaga dalam kehidupan bermasyarkat di Aceh. Kemudian sebagai pelaksaan keputusan Pemerintah mengeluarkan Peraturan Daerah no. 2 tahun 1990 tenang pembinaaan dan pengembangan Adat Istiadat, kebiasaan Masyarakat beserta lembaga Adat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dimana pengembangan dan pembinaan adat diserahkan kepada Gampong dan Mukim serta lembaga-lembaga adat yang telah ada maupun yang akan dibentuk.
Peraturan peraturan yang menyangkut tentang berlakunya adat yang didasarkan pada Undang-undang No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh yang menurut pasal 3 (2) meliputi :
  1. Penyelenggaraan kehidupan beragama
  2. Penyelenggaraan kehidupan adat;
  3. Penyelenggaraan pendidikan
  4. Peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah;
Dalam hal penyelenggaraan kehidupan adat, dalam pasal 6 ditegaskan daerah dapat menetapkan berbagai kebijakan dalam upaya pemberdayaan, pelestarian dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan Syari’at Islam kemudian ditetapkan pula peraturan Daerah Nomor 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan Kehidupan adat, kemudian di ikuti dengan Undang-undang 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus yang kemudian diganti Undang-undang Pemerintahan Aceh dalam Bab Tentang Wali Nanggro dan Lembaga Adat, kemudian Qanun nomor 4 tahun 2003 tentang pemerintahan Mukim dan Qanun Nanggro Aceh Darussalam nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong.
Dengan adanya peraturan/qanun tersebut telah memperkuat untuk melaksanakan keistimean Aceh di Nanggro Aceh Darussalam, Dalam perkembangannya, khusunya menyangkut tentang Peradilan Adat di Aceh, meskipun tidak di jumpai nama –nama peradilan adat dalam penyelesaian di gampong-gampong, pada kenyataannya orang –orang Aceh (Kuchik di Gampong) masih menerapkan dan mempertahankan hukum adat menyangkut penyelesaian hukum adat atau delik.
Wewenang dalam Peradilan Adat
Berdasarkan Qanun Propinsi Nanggro Aceh Darussalam Nomor 3 tahun 2004 tentang Pembentukan susunan dan tata kerja Majlis Adat Aceh/MAA yang disebut dengan ;
  • Hukum adat adalah Hukum adat Aceh yang hidup dan berkembang dalam masyarakat di Prop. Daerah Aceh;
  • Adat istiadat adalah aturan atau perbuataan yang bersendikan Syariat Islam yang lazim dituruti, dihormati, dimulai sejak dahulu dan dijadikan sebagai landasan hidup dalam masyarkat;
  • Kebiasaan-kebiasaan adalah suatu kegiatan atau perbuatan yang pada dasarnya bukan bersumber dari hukum adat atau adat istiadat akan tetapi hal tersebut telah di akui oleh umum dan dilaksanakan oleh umum dan telah dilaksnanakan secara berulang-ulang;
  • Peradilan Adat gampong adalah peradilan perdamaian melalui musyawarah mufakat yang dipimpin oleh keuchik dengan anggota Tengku Munasah dan tuha Peut gampong;
  • Peradilan adat mukim adalah peradilan perdamaian melakukan musyawarah mufakat yang dipimpin oleh imum Mukim dengan anggota imum syik dan para tuha peut mukim;
Dalam pasal 3, Majelis Adat Aceh mempunyai wewenang;
·         Mengkaji dan menyusun rencana penyelenggaraan kehidupan adat
·         Membentuk dan mengukuhkan lembaga adat
·         menyampaikan saran dan pendapat kepada pemerintah dalam kaitannya dengan penyelenggaraan kehidupan adat diminta maupun tidak diminta;
Dalam pasal 5, fungsi M A A :
  1. Meningkatkan pemeliharaan, pembinaan dan menyebarluaskan adat istiadat dan hukum adat dalam masyarakat sebagai bagian yang tak terpisahkan dari adat Indonesia;
  2. Meningkatkan kemapuan tokoh adat yang profesional sesuai dengan keadaan dan kebutuhan masyarkat Daerah;
  3. Meningkatkan penyebarluasan adat Aceh ke dalam masyaarkat melalui keuruja udep dan keuruja maate, penampilan kreatifitas dan mes media;
  4. Menyelenggarakan pembianaan dan pengembangan fungsi Peradilan adat Gampong dan Peradilan Adat Mukim;
  5. Mengawai penyelenggaraan adaat istiadat dan hukum adat supaya tetap sesuai dengan Syariat Islam;
  6. Meningkatkan kerja sama dengan berbagai pihak, perorangan maupun badan-badan yang ada kaitannya dengan maslah adat Aceh khususnya, baik di dlam maupun diluar negeri sejauh tidak bertentangan dengan agama, adat istiadat dan perundang-undangan yang berlaku;
  7. Menyusun risalah risalah untuk menjadi pedoman tentang adat;
  8. Ikut serta dalam setiap penyelenggaraan pekan Kebudayaan Aceh Propinsi dan kabupaten/kota
  9. Mengusahakan perwujudan maksud dan makna falsafah hidup dalam masyarakat sesuai dengan adat bak poutumuruhom hukom bak syiah kuala qanun bak putro phang resam bak laksamana;
Penyelesaian Sengketa adat;
Pasal 10 Perda nomor 7 tahun 2000 menyebutkan :
Aparat penegak hukum memberi kesempatan terlebih dahulu kepada geuchik dan imum mukim untuk menyelesaikan sengketa-sengketa/perselisihan di gampong/mukim masing.
Pasal 11
  1. Geuchik berwenang untuk menyelesaikan perselisihan persengketaan/permasalahan yang terjadi di Gampong,baik masalah masalah sosial yang timbul di masyarakat dalam suatu rapat Adat Gampong;
  2. Apabila dalam jangka waktu 2 bulan perselisihan tersebut tidak dapat diselesaikan di gampong atau para pihak yang bersengketa tidak dapat menerima keputusan adat tingkat Geuchik, maka perselisihan sengketa tersebut diselesaikan oleh imum Mukim dalam rapat adat Mukim;
Pasal 12
  1. Rapat adat Gampong dipimpin oleh Geuchik dan Teungku Gampong (imum Meunasah) dan dibantu oleh sekretaris Gampong dan Tuha Peut/tuha lapan Gampong;
  2. Rapat adat mukim dipimpin oleh imum mukim dibantu oleh serektaris mukim serta di hadiri oleh seluruh anggota tuha peut/tuha lapan mukim;
Pasal 14
1.      Segala perselisihan dan persengketaan yang telah didamaikan di oleh Geuchik gampong dan imum mukim dalam suatu rapat Adat bersifat mengikat pihak-pihak yang berselisih/bersengketa
2.      para pihak yang tidak mengindahkan keputusan adat tingkat geuchik atau imum Mukim ia akan dikenakan sanksi adat yang lebih berat oleh karena merusak kata kesepakatan dan menganggu keseimbangan yang hidup dlam masyarakat
pasal 15
  1. Apabila dalam jangka waktu 1 bulan Imum Mukim tidak dapat menyelesaikan atau para pihak yang berselisih/bersengketa merasa tidak puas terhadap keputusan adat tingkat mukim, maka ia dapat mengajukan perkaranya kepada aparat penegak hukum;
  2. Keputusan Adat yang telah dijatuhkan kepada pihak-pihak yang bersengketa dapat dijadikan salah saatu pertimbangan oleh aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perkara.
Pasal 16
Tata cara dan syarata-syarat penyelesaian perselisihan/persengkartaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat di masing-masing daerah Kbupaaten/kota/kecamatan/mukim dan Gampong.
Pasal 17
Dalam penyelesaian perkara di Pengadilan, Geuchik dan Imum Mukim dapat dijadikan saksi ahli dalam perkara-perkara dimaksud, sepanjang perkara tersebut telah diputuskan oleh rapat Adat yang bersangkutan.
Pasal 18
Tiap-tiap penyelesaian sengketa oleh Geuchik dan Imum Mukim dibuat Berita Acara dan dituangkan dalam keputusan serta di umumkan kepada Masyarakat.
Selain itu menurut penelitian dari unsyiah dan kerja sama dengan Propinsi Nad pada tahun 2002, oleh tim Prof. Dahlan, Prof T. Djuned Sh dkk, di Aceh juga dikenal dengan Peradilan Panglima Laot. Dimana fungsionaris terdiri dari;
1. Pimpinan sidang adalah Panglima laot.
2. Anggota sidang terdiri dari ; Pawang laot ;b. Salah seorang dari ; Tgk. Imum, atau Keuchik; atau Imum mesjid.
Adapun jenis perkara yang diselesaikan adalah :
    1. Semua perkara pelanggaran adat laot
    2. Perkara pidana kecil, seperti perkelahian dan penghinaan di wilayah laot;

Sifat dari pada putusan adalah memaksa, putusan dijatuhakan berdasarkan ;
  1. larangan melaut dalam jumlah hari tertentu bagi boet/orang yang dipersalahkan dan dijatuhi sanksi adat.
  2. Penyitaan dan pelelangan hasil tangkapan seta perampasan uang hasil pelelangan oleh peradilan.
Pelanggaran Adat
Dalam masyarakat hukum adat, perbuatan delik adat dapat diperhatikan pada tingkatan-tingkatan pelanggaran yang dilakukan seperti :
  1. tindakan-tindakan pelanggaran hukum adat merupakan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat.
  2. Hukum adat tidak mengadakan perbedaan antara hukum pidana dengan hukum perdata tapi semuanya termasuk satu katagori yaitu perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat setempat.
  3. Petugas hukum tidak selalu mengambil inisiatif dalam setiap pelanggaran
  4. Dalam persekutuan hukum, petugas wajib bertindak apabila pelanggaran hukum adat mengenai kepentingan umum.
Sistem hukum adat hanya mengenal satu prosudur dalam hal penuntutan yaitu baik perdana maupun perdata. Petugas hukum yang berwenang untuk mengambil tindakan-tingdakan konkrit/reaksi adat guna membetulkan hukum yang di langgar tidak seperti sistem hukum barat, yaitu hakim pidana untukm perkara pidana dan hakim perdata untuk hakim perdata. Dalam hukum adat dikenal ada satu pejabat yaitu kepala Desa.
Dalam kehidupan masyarkat Aceh, hakim adat/hakim perdamaian desa /gampong, dalam menyelesaikan suatu perkara harus cukup syarat-sayarat hukumnya.
  1. Kalau menimbang harus sama berat
  2. Kalau mengukur harus sama Panjang
  3. Tidak boleh berpihak-pihak
  4. Lurus, patut, dan benar menjadi pegangan
  5. Benar menurut kehendak adat dan syarak
Dalam hal pidana adat, hakim perdamaian desa juga berwenang mengadili dan menghukum orang tersebut untuk menyelenggarakan upaya-upaya adat seperti :
  1. Meminta maaf secara adat
  2. Membuat selamatan/kenduri
Urusan pengadilan seluruhnya didasarkan pada sistem yang berlaku dalam organisasi pemerintahan Aceh, sengketa-sengketa kecil/pelanggaran adat yang biasanya diselesaikan oleh Teungku Imum Meunasah dengan didampingi seorang tetua bidang keagamaan.
Sengketa-senketa tersebut diselesaikan dengan suatu keputusan yang dinamai Peujroh ghob/Meusapat. Begitu juga terhadap pencurian dikembalikan kepada pemiliknya atau menggantikan harga dan yang bersangkutan meminta maaf, begitu juga dengan tagihan-tagihan perdata, dpat dilakukan dengan permintaan maaf.
Pasal 19 Perda 7 tahun 2000 Jenis – jenis Penyelesaian sengketa dan sanksi yang dapat dijatuhkan sebagai berikut :
    1. Nasihat.
    2. Teguran.
    3. Pernyataan maaf dihadapan orang banyak di Meunasah atau mesjid, diiukti dengan acara peusijuk.
    4. Denda; dalam arti penyediaan makanan untk makan bersama
    5. Ganti kerugian
    6. Dikucilkan oleh masyarakat Gampong/ han roeh saho
    7. Dikeluarkan dari masyarkat Gampong.
    8. Pencabutan gelar adat.
    9. Dll. Sesuai dengan adat setempat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar